Rabu, 19 Agustus 2015

Bidara Hati

Pelangi datang lagi.
Ada danau hati yang sedang keruh.
Bidadari mulai turun dari langit.
Kali ini, bidadari tak sendiri.
Bidadara pun dibawa serta.
Untuk apa?
Ada hati yang menguap.
Ada danau hati yang sedang keruh.

Pelangi datang lagi.
Warna-warni berbaris rapi.
Bidadari kembali ke langit.
Bidadara ditinggal sendiri.
Untuk apa?
Ada hati yang terbuai dalam sesak.
Senyum pun dititipkan.
Hati penuh terisi.
Bidadara pun bersemayam dalam buaian Sang Gadis.

Pelangi datang lagi.
Sudah waktunya keruh mulai larut.
Sudah masanya kegetiran pudar.
Sudah waktunya?
Sudah masanya?
Hati tak lagi sepi.
Ada Bidadara di Hati, yang bersemayam dengan nama-Nya.

Dedikasi:
Mba Vilda - Inhil, Riau.

Minggu, 09 Agustus 2015

Nomor Satu

Adikku juara lagi.  Meski tidak jadi nomor satu.  Kau tahu adikku,  menjadi nomor satu adalah harapan banyak orang.  Tetapi,  nomor satu akan menyebabkan dirimu sendiri di ketinggian.  Kadang, hanya kesepian yang kau dapat.  Sementara itu,  banyak orang ramai di bawah sana.  Mereka asik bersenda gurau.  Minum kopi sambil tertawa bebas.  Kau akan sulit menemukannya di puncak.  Nomor satu identik dengan sendiri,  jadi biasakan dirimu untuk sendiri.  Apabila kau tidak sanggup,  mungkin kau harus berpura-pura,  sehingga kau bisa turun ke peringkat bawah dan duduk duduk bersama mereka.

Adikku,  ku harap kau akan mulai belajar memahami setiap kemenangan.  Euforia kemenangan adalah kumpulan dari proses kegagalan,  kesakitan,  kegalauan,  dan lain sebagainya yang terjalin erat dengan kesungguhan dan ketekunan untuk terus melangkah dalam mencapai tujuan.  Ketika kau menang,  kau pasti mengalahkan orang lain.  bagaimana perasaan mereka?  Tentu kau tahu rasanya.  rasa sakit yang susah pudar,  kecuali mereka yang punya tujuan kuat untuk menang.

Adakah salah jika kau menang?  tentu tidak.  tetapi,  bisakah kau menang tanpa harus mengalahkan.  Bisakah kau menang dengan membawa serta setiap orang orang yang ada di sekitarmu.  Atau paling ekstrem adalah bersediakah kau mengalah agar orang orang di sekitarmu juga merasakan kemenangan.  Kau pasti ingin melihat senyum mereka bukan? Senyum yang tidak kau dapatkan ketika kau menang dari mereka.

Adikku, sudah waktunya kau bergegas untuk mengubah mindset-mu tentang kemenangan.  salam dari kakakmu yang berusaha memenangkan dirimu dihatiku. 



Jumat, 07 Agustus 2015

Puncak Tertinggi, Ku Tinggalkan Dirimu


Ku langkahkan kaki menuju puncak tertinggi. Ku langkahkan kakiku untuk menapakkan hentakan-hentakan kakiku secara perlahan. Ku tatap puncak tertinggi dengan agung. Sementara itu, puncak itu mulai dipeluk awan. Setiap langkahku mengantarkan aku pada titik ini, titik yang mampu ke jejakkan sebagai hamba untuk memandang ketinggian semu kepada ketinggian agung. Dari titik tertinggi ini, aku menggelar seluruh tanda baca dan setiap kata yang ku ingat dalam lembaran-lembaran awan putih yang ku potong-potong. Tentunya, aku sudah melakukan ritual untuk permisi kepada sang pemilik awan. Ku satukan gemuruh dalam dadaku. Ku satukan setiap kesatuan pikir dalam hidupku. Ku raba titik tertinggi ini, lalu ku tatap tinggi yang ku raba dengan hatiku. Lalu, ku agungkan Sang pemilik, kemudian ku tulis mereka dengan kalam yang tiada terputus-putus.
Mentari malu-malu. Kawanan awan putih memeluknya erat. Gunung-gemunung lagi tidur-tiduran berjemur di pinggir-pinggir pantai kebiruan. Gelombang pun beradu lari laksana memperebutkan piala paling bergengsi dalam alam semesta. Sementara itu, kekuasaan berpayung dalam gedung-gedung tinggi. Menyeruak ke jalan-jalan protokol negeri ini. Kadang-kadang beriring-iring seperti melepas serdadu yang hendak pergi berperang. Setiap nafas ditahan. Jika ada yang berani bernafas, sudah pasti didor atau diseret tanpa alasan. Mungkin kamar gelap sudah tidak ada, tetapi kamar-kamar yang berlampu sudah disusupi aura kegelapan. Sehingga tak seorang pun yang bersuara dapat bebas.
Kentut. Itu juga suara. Harus diberangus. Harus dirajam. Harus disumpal sampai tak ada suara lagi. Undang-undang sudah memerintahkan perangkat peradilan untuk menutup seluruh sumber suara. Tak ada lagi suara yang boleh ngeluyur tanpa didampingi perangkat peradilan. Suara pun harus tunduk pada mereka. Jika perintah meluncur dari istana, barulah suara-suara itu boleh bebas berkeliaran untuk menikmati keindahan negeri ini. Sudah mulai pupus.
Bumi sudah lama menahan suara-suara di perutnya. Sedangkan matahari semakin liar memanaskan. Suara-suara itu memuai. Khawatir akan meledak, bumi kadang-kadang mencari selangkangan gunung-gunung untuk mengeluarkan larva. Iramanya pun berdendang ria. Gunung utara berdesis, gunung selatan batuk-batuk. Sudah tak ada lagi yang dapat menahan suara itu. Bahkan dedemit pun sudah lari terbirit-birit. Rumah-rumah mereka sekarang dipenuhi kumpulan suara tertahan. Menghimpit. Setan. Jin. Tuyul. Dan semua penghuni alam gaib sudah terdesak. Raja Iblis pun ikut-ikutan protes. Kinerja pemerintahan negeri demit sudah diusik. Raja iblis merasa ini adalah ekspansi besar-besaran. Ini eksodus. Ini perlu dikendalikan. Jika tidak Gerombolan penghuni alam gaib akan kehilangan kewenangan jati dirinya sebagai penghancur dan penggoda hati manusia. Mereka khawatir, malah mereka yang digoda oleh manusia dan dijebloskan ke surga.
“Di mana lagi aku harus bersuara, semua tempat sudah penuh. Suara kebaikan dan kentut pun sudah menyatu. Tak bisa dibiarkan. Ini harus dicari solusinya. Kalau tidak, rakyatku akan binasa.”
“Tuanku, hal ini sungguh mengkhawatirkan. Tuanku harus segera bertindak. Jika tidak, Kerajaan ini akan terancam, Tuanku.”
“Kau tidak usah bicara banyak. Aku juga memikirkan hal itu. Jangan sampai karena kau bersuara, rakyat kita kehabisan tempat untuk melepas suara mereka untuk melaksanakan tugas Maharaja Yang Dipertuan Agung, Azazil,”
“Baik, Tuanku.”
“Ya, sudah. Cari informasi untukku ke negeri para manusia.”
“Siap menjalankan perintah, Tuanku. Mohon undur diri.”
Gerah. Angin sudah enggan bertiup. Sudah selesai ditekan-tekan. Sudah selesai dihimpit-himpit. Sudahlah. Tak ada lagi yang tersisa. Semua sudah berniat untuk berkelana. Penguasa negeri ini masih dapat memaksa angin-angin buatan untuk menyegarkan tubuhnya. Sedangkan, kentut tidak diperkenankan hilir-mudik. Apalagi singgah melepas penatnya menggunakan angin-angin buatan penguasa. Itu adalah pelanggaran. Kentut dilarang beroperasi. Sebaiknya, penghasil kentut harus disumbat. Kemudian dibiarkan menyebar ke aliran darah, meresap, menguap bersama keringat ke udara. Tanpa suara.
Ayolah. Semua harus bersuara. jika tidak suara akan dipenjara. Selamanya. Pikir-pikirlah dulu. Suara harus dibebaskan. Demonstrasi perlu dilakukan kembali. Panji-panji perlu ditegakkan. Tak usah pedulikan berapa jumlah masa. Bumi ini sudah penat. Itu sudah cukup sebagai dasar pergerakan. Semangat sang api dapat kita ambil untuk meluluhlantakkan kesombongan penguasa negeri ini. Dia sudah berani-beraninya mengebiri suara sehingga menjadi tidak berdaya. Kalau kau tidak berani, biar aku yang memimpin pergerakan ini.
Aku sandarkan tubuh kaku. Ku biarkan suara tertahan dalam tubuhku, lepas melalui pori-pori dan ubun-ubunku. Hanya itu yang bisa kulakukan. Seluruh lubang tubuhku tidak bisa ku gunakan lagi. Bahkan, ujung kemaluanku terpaksa ku kunci rapat. Aku sadar, dulu ketika aku buang air, kedua lubang kemaluanku selalu berbunyi. Aku khawatir, niatku untuk membebaskan suara dapat terhalang akibat kesalahan kecil ini. Aku terpaksa menyumbatnya rapat-rapat. Lalu, ku gunakan perekat paling kuat untuk merapatkannya. Sebenarnya, aku masih ragu-ragu. Tapi ini tidak bisa ditunda lagi. cukup lelahku menahan keperihan untuk membebaskan suara-suara melalui pori-pori dan ubun-ubunku. Jika kau tidak percaya, coba saja kau lakukan. Kau pasti tidak akan mampu. Suara harus ku bebaskan segera.
Senja datang lagi. Malam pun enggan berbicara. Ada sedikit ketakutan. Malam sudah tidak mampu menutup hiruk pikuk manusia. Pikiran bertebaran. Sudah ku putuskan. Ini bukan perkara suara saja. Tetapi sudah menjadi keputusan global untuk menyelamatkan semesta dari kehancuran dan keangkaramurkaan. Malam harus dikembalikan fungsinya. Siang harus diagungkan kembali. Sudah tidak ada waktu lagi. Tetapi siapa yang peduli?
Lorong-lorong kota mulai tampak sepi di tengah keramaian. Hilir mudik penduduk lesu. Nrimo ing pandum. Entah maknanya seperti apa. Tetapi pengertian sudah diputarbalikkan. Siapa ikut penguasa, maka bebas kentut sembarangan. Kentut yang sesuai dengan keinginan tentunya. Ah, sudahlah. Ini bukan waktunya untuk berselisih pikir atau memikirkan perselisihan yang terjadi saat ini.
Aku bersimpuh di puncak derita. Ku undang roh-roh leluhur. Ku panggil roh tujuh gunung, ku persilahkan ruh samudera-samudera. Membaca mantera untuk memberikan kekuatan semesta pada diriku yang kecil. Namun, aku tak mau bersekutu dengan Raja Iblis dan bala tentaranya. Biarkan dia juga ikut-ikutan penat. Sudah terlalu lama juga, mereka berbuat kerusakan. Merekalah yang bertanggung jawab, meskipun aku sadar mereka saat ini juga terhimpit oleh perbuatan mereka sendiri. Yang pasti, kejahatan mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan manusia yang sudah tertutup hatinya dengan puing-puing keburukan. Setidaknya, mereka telah berhasil dan harusnya berpesta-pora saat ini. Namun, kenyataannya mereka pun semakin terpojok dan tersiksa. Aku tak akan melakukan transaksi dengan mereka. Karena kepercayaanku kepada mereka belum pernah terjadi. Dan itu akan tetap seperti itu. Jadi, setidaknya alam semesta ini yang ku panggil sebagai bala bantuan untuk melakukan aksi protes kepada penguasa negeri ini, tentunya dengan cara mereka.
“Hai, yang mengaku sebagai kebaikan yang tersisa. Kau tidak akan bisa lakukan tugas berat ini sendirian. Izinkan aku membantumu!”
“Pergilah! Aku tidak mengundangmu.”
“Bagaimana aku bisa pergi, sedangkan tujuan kita adalah sama.”
“Ini akibat ulah kalian. Harusnya kalian cukup senang, Mengapa kalian malah gelisah?”
“Ini di luar perhitungan kami. Kami tak mengira, kalian lebih jahat daripada kami. Raja kami khawatir, kalau ini dibiarkan tugas yang harusnya kami emban bisa-bisa akan diambil alih oleh para pendosa dari kalangan kalian.”
“Cukup sudah basa-basimu. Kau pergi saja. Aku tak percaya pada kalian. Kalau kalian mau protes, lakukan saja sendiri. Aku sudah punya rencana sendiri.”
“Kau begitu sombong.”
“Sudah pantas aku sombong kepadamu tanpa memandang rendah dirimu. Ternyata, bangsa kami lebih jahat darimu, lebih sombong darimu, lebih angkuh darimu. Apa itu tidak membuatmu berpikir, bahwa tanpa kalian goda saja kami sudah memiliki sifat penghancur. Apalagi kalian mengambil peranan dalam memengaruhi kami untuk kalian jadikan teman-teman kalian.”
“Kau benar. Aku akan sampaikan hal ini pada raja kami.”
“Terserah padamu. Tetapi segeralah pergi. Karena aku sedang bersiap-siap untuk menerima tamu-tamuku.”
Para tamu mulai berdatangan. Alam semesta mengadakan rapat. Aku berada di tengah arus dan pusaran mereka. Mantera mulai bertaburan. Satu persatu mantera alam semesta berkumandang. Halintar pun tak kalah kencang. Aku memimpin mereka untuk menyatukan alam semesta.
Irama mantera semesta bergema. Gempa menggetarkan. Tanah merobek-robek tubuhnya. Halilintar berdentum. Samudera menggulung ombak. Angin berputar menyatu dengan gelombang. Semua yang tampak diterjang. Istana pun tak ketinggalan. Semua diluluhlantakkan.
****

Kitab-kitab suci bertebaran di muka bumi. Mencoba mengingatkan setiap pemikir untuk mulai bekerja. Alangkah merdu. Namun, setiap pemikir mulai tidak lagi berpikir. Pemikiran sudah dikalahkan gelak-gelak tawa. Sedikit bertasbih dengan hentak-hentakan musik. Apakah musik dipersalahkan? Tidak. Musik tidak bernyawa. Musik hanyalah alunan. Musik sama halnya dengan semesta. Sementara, mereka yang menjadikannya gelak tawa, sehingga musik menjadi penghias pemikiran yang sudah tidak diisi dengan pemikiran. Apa jadinya? Ya, semua terlihat begitu saja. Arus semesta mengalir deras, menghantam sedikit demi sedikit peradaban. Keagungan peradaban sudah mulai dicemarkan dengan ketinggian pangkat dan nafsu kekuasaaan.
Sudah saatnya, kitab suci mulai dikedepankan. Akan tetapi, pergerakan itu banyak ditentang. Mereka bercerita tentang mereka, tetapi tidak lupa untuk berpikir untuk membenamkan yang lain dalam lumpur peradaban. Setidaknya, setiap berlian akan tetap menjadi berlian. Keyakinan itulah yang mengunci peradaban pada dinamika pasang surut peradaban. Kadang agung, kadang tanggung, malah banyak yang hancur begitu saja.
Penjarakan saja! Agar pemikiran tak pernah berpikir. Daripada menciptakan ruang bebas berpendapat, sedangkan pemikiran digiring dalam lingkaran kepentingan. Lingkaran yang menyebabkan kitab suci menjadi mainan di panggung-panggung sebagai pembuka acara agar terlihat beradab. Mungkinkah kitab suci hanyalah hiasan. Seperti bunga-bunga plastik yang dipajang di vas bunga di atas meja ruang-ruang tamu. Bunga itu indah, tapi sejatinya tak lebih dari kematian yang dihidupkan sebagai bentuk pencitraan. Setidaknya, ada muncullah, daripada tidak digunakan sama sekali.
Sementara itu, hati gegap-gempita dengan hingar-bingar pikiran-pikiran liar. Pencarian dari para petualang untuk menemukan jati diri, tak terelakkan akan menemui kegagalan. Ya, kegagalan sempurna yang tak diragukan. Semua pintu-pintu keberhasilan ditutup dan disemukan. Keberhasilan yang di-setting.
“Mungkinkah pemikiran generasiku dipenjara? Atau apakah itu sudah dilakukan sejak mereka dikandung oleh ibu-ibu mereka?”
“Sudahlah. Kau tak perlu risau. Kegalauan itu tak lagi menjadi tanggung jawabmu. Kau tahu, itu sudah dirampas oleh mereka dan harus sesuai dengan mereka.”
Senja datang dan pergi. Fajar selalu hadir menghapus kegelapan dan kepekatan sang malam. Ekspektasi bagi negeriku adalah fajar selalu datang menyapa. Kepenatan negeri ini sudah saatnya untuk dipasrahkan. Ya, kepasrahan kepada petunjuk kitab suci. Kitab suci yang diagungkan oleh semesta. Yang menjaga keseimbangan antara tiga dunia. Mungkin juga banyak dunia yang tak terbatas pada ruang-ruang pembatas. Pemikiran pun hadir sebagai sebuah keterbatasan, kecuali pemikiran yang dikehendaki.
Pergerakan rembulan tak hanya malam. Siang pun dipenuhi rembulan yang sembunyi malu-malu. Hal tersembunyi yang disembunyikan atau sekadar menyembunyikan diri dari terang-benderang. Kurang pikir kurang rasa, apa jadinya? Kesadaran akhirnya terbelenggu dengan manja. Kesadaran tak lagi kuasa. Kesadaran hanyalah rasa yang dibuai-buai, lalu perlahan ditenggelamkan dalam palung-palung terdalam nurani. Kemudian, secara perlahan demi perlahan ditutup dengan keserakahan-keserakahan yang terorganisasi. Sudah waktunya untuk sadar? Sementara hal itu sudah sukar untuk disadarkan.
Kitab suci perlu turun tangan. Kalau perlu turun kaki. Bahkan, jika diperlukan perlu turun kepala. Puncak yang dianggap sebagai sumber pemikiran. Kepala sudah mau melihat ke bumi. Apakah sudah adil atau tidak menjalankan amanat semesta atau sudah berbuat kesia-siaan belaka. Kepala memang harus turun ke dasar telapak. Agar siap diinjak-injak untuk mengetahui keperihan dan derita yang diakibatkan pola-pola liar yang dianggap strategis, tetapi telapak kaki geram juga mencekam. Sudah mejadi keharusan, kepala harus ditundukkan ke bumi untuk menghadap kitab suci. Agar keselamatan, setiap kerikil, serta kehidupan kaum kecil yang bersembunyi dari hentakan-hentakan telapak pemikiran. Setidaknya, kepala dihadapkan kepada kehidupan nyata untuk berbuat sesuka hati mereka dan menyaksikan langsung akibat dari perilakunya. Atau setidaknya, ada rasa belas kasih akibat pengetahuannya mendengar keluh kesah kaum kecil yang tidak pernah diizinkan untuk bersuara.
Rembulan mulai sunyi. Bintang bertabur sepi. Akan ada pelangi. Jika hujan datang lagi. Dan sinar mentari rela diberi. Itulah pelita hati insani. Yang terbelenggu dalam wujud hakiki. Mungkin ada hati. Atau jemari mulai berlari. Dengan setia kepada para pemimpi. Bertujuan untuk wujud setiap pikir sejati. Tetapi, sudah tak ada lagi. Tetapi, sudah lama berlari. Tetapi, sudah tak ada mimpi. Tetapi sudah tak bersuara kini. Kepala harus mau mencium bumi. Agar kepala menjadi ibu dari pikir dan rasa diri.
****

Anak kecil lari-lari menuju surau di subuh hari. Panggilan bergema, sementara para tetua sedang sibuk menghias tidur mereka dengan mimpi. Anak keci lari-lari menuju surau di subuh hari. Panggilan bergema, sementara para ibu-ibu sedang asik memotong-motong sayur untuk sarapan pagi hari. Anak kecil lari-lari menuju surau di subuh hari. Panggilan bergema, sementara para kakak-kakak sedang asik bermain game dan online sampai pagi.
Ketika yang dinamakan dosa tak pernah mendekat. Alamlah pemeliharanya. Anak-anak kecil itu jenaka. Mereka tak ada rasa angkara. Kadang menangis, jika tidak dimanja. Alamlah pemeliharanya. Anak-anak itu ceria. Batu pun rela dijadikan mainan. Bahkan, ikhlas dilempar dan akhirnya ditertawakan oleh mereka. Batu pun gembira karena sudah menjadi sebab ceria. Alamlah pemeliharanya. Anak-anak kecil itu gembira. Fajar mengiring mereka kepada Sang Pencipta. Ketika, semua burung mulai bernyanyi riang. Ketika matahari menyentuhnya dengan sinar kemerahan. Ketika malam sudah berpamitan untuk pulang. Adakah pembatas bagi mereka? Jawaban sederhana untuk mereka adalah tidak. Kata sederhana yang susah diucapkan apabila godaan kekuasan melanda. Ucapan sederhana yang sulit diungkapkan apabila gemerlap semesta menyapa. Tapi, anak-anak kecil itu mampu untuk berkata, berucap, dan menjawabnya secara sederhana.
Ketika tangisan adalah wakil dari semua makna. Lembaran kehidupan masih terbentang tanpa batas. Hari berganti, lembaran itu mulai ternoda. Perlahan tanpa suara. Senyap. Ku hirup sedikit rasa yang tersisa dalam setiap desah nafas. Sesak. Ku hirup lagi. Makin sesak. Ku biarkan diriku menyatu bersama aliran udara yang masuk. Ku izinkan diriku dilalui, seperti awan yang mengizinkan dirinya dibawa oleh angin. Seperti gunung yang tidak menahan magmanya yang sudah ingin keluar. Seperti air yang mengalir mengikuti alurnya.
Sudah penuh, rasa yang ku inginkan hadir dalam dadaku. Sudah penuh, ingin yang ku inginkan hadir dalam perjalananku. Sudah penuh, ingin yang ku inginkan kembali dalam kehidupanku. Sudah penuh, ingin yang ku inginkan tercerai dari jasadku. Sudah karam pemikiranku dalam getar-getar semesta. Sudah ku taklukkan perampok-perampok dalam usiaku. Sudah ku singkirkan kotor dan duka yang mencengkeram erat dalam setiap urat nadi dan darahku. Sudah. Tapi, kesudahanku tak dapat ku akhiri atas kehendakku.
“Akankah semesta yang ku sakiti, percaya padaku?”
“Mungkin.”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Ah…!”
“Akankah bumi pertiwi yang ku eksploitasi, rela padaku?”
“Mungkin.”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Ah…!”
“Akankah langit yang ku jadikan tameng, sudi menjagaku?”
“Mungkin.”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Ah…!”
“Akankah saudara-saudaraku, yang ku telantarkan, sedikit diinjak kekuasaan, juga ditendang dan dipukuli panglima-panglima keserakahan yang mengabdi padaku, sudah memaafkan diriku?”
“Mungkin.”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Ah…!”
“Akankah Sang Pemilik, membiarkan diriku merasakan aroma ridho-Nya?”
“Aku tidak tahu”
Selimut putih semesta mulai menutupku rapat. Mataku kini buta. Hidungku disumbat. Angin sudah enggan masuk ke dalam hidungku. Sesekali mengejekku, masuk sebentar, lalu keluar dengan cepat. Aku menahan gerakan semesta yang mulai mengalir dari diriku. Darahkan memperlambat jalannya. Biasanya, aku memacunya untuk tantangan-tantangan ekstrim kegemaranku. Itu hanya untuk menunjukkan siapa aku.Tubuhku menurunkan suhunya. Aku hadir dalam keadaan sendiri. Dan ku mantapkan diriku dalam kesendirian di akhir. Meskipun, banyak yang dilepas berurai air mata. Sedangkan aku ingin dilepas dengan musik semesta. Sehingga ku asingkan diriku. Itu untuk menaruh simpati semesta untuk hadir bersamaku. Harapan kecilku, tetabuhan sunyi mengiringku dalam rangkaian persiapan perjalanan panjangku.
Ku sesali perbuatan-perbuatan nakalku. Ku tangisi hal-hal baik yang sedikit ku kerjakan. Ku harap penyatuan sempurna dengan sedikit karunia-Nya. Mungkinkah ku dapat? Aku takut. Tapi, harapku kini ku hidupkan. Ku ajak berdamai. Ku ajak bernegoisasi. Aku sadar posisiku tidak sedang dalam keadaan yang menguntungkan. Aku hanya berharap belas kasih. Negoisasi dengan penuh kerendahan untuk diriku. Kehinaan demi kehinaan ku tampakkan. Kelemahan demi kelemahan ku hadirkan. Kejelekan demi kejelekan ku hamparkan. Sementara itu, kebaikankan yang sedikit ku buang ke dasar puncak tertinggi. Menggelinding ke bumi pertiwi. Ku biarkan mengendap di bawah sana.
Sementara itu, kehinaan, kelemehan, kejelekan, dan segala hal yang memiliki hubungan darah dan kekeluargan dengan ketiga hal tersebut ku biarkan tetap di sisiku. Ku hamparkan, seperti menata menu makanan pada pesta terakhir dalam kehidupan. Ku atur jaraknya. Ku jejer sesuai kelasnya. Ku hitung-hitung mereka. Ku paksa mereka berbicara kepadaku. Dulu oleh sebab mereka, aku berjaya. Lebih tepatnya, kejayaan semu yang ku raih dengan segala kehinaanku. Semua ku hadapkan, ku mintakan pengampunan untuk setiap mili, senti, bahkan kiloan. Jika ada satuan terbesar, yang belum pernah ditemukan, keinginanku satuan itu hadir sebagai bobot dari kehinaanku.
Ku pasrahkan diriku. Lebur bersama semesta. Aku pinta semesta untuk lenyap dariku satu persatu. Ku harapkan setiap pelepasan itu diiringi karunia, sehingga mengantarku kepada pelepasan diri. Ku hirup nafas yang mulai tersendat. Kali ini, aku meminta kepada angin untuk membantuku lepas darinya secara perlahan. Tubuhku semakin kaku. Mati rasa sudah terlewatkan. Kini tubuhku, tercabik-cabik. Ku nikmati saja. Ku pasrahkan diriku. Persendianku tak mampu bertahan, lolos begitu saja. Kakimu ku lihat berhenti bergerak. Semakin mengeras dan membatu. Semakin lama, pinggangku mulai tersayat. Ku nikmati saja. Ku pasrahkan diriku. Tubuhku lunglai. Aku terjatuh, terbaring di puncak tertinggi. Dadaku semakin sesak.
Ku pasrahkan diriku. Ku balikkan tubuhku dengan kepayahan. Ku tatap puncak tertinggi yang tak bisa ku jejak. Karunia-Nya mengizinkan diriku untuk menatapnya. Ku lantunkan penyesalanku. Ku lantunkan harapku. Lantunan yang tak kunjung keluar dari mulut kakuku. Hatiku belum kaku. Sedangkan tanganku sudah mulai tak menentu. Tanganku mulai ikut-ikutan mematung. Ku sandarkan tubuhku pada puncak tertinggi yang mampu ku pijak, sedangkan pandanganku mengarah pada puncak tertinggi yang ingin ku capai dalam perjalananku berikutnya.
Ku pasrahkan diriku. Aku terkejut. Tapi, karunia-Nya terus ku harap. Aku ingin menuju pintu-Nya dari puncak tertinggi. Pengiringku sudah datang. Ku tatap dengan senyum. Dia masih garang. Karunia-Nya ku harap. Aku dituntun. Ku nikmati saja. Segala kepayahanku semakin bersatu. Berontak. Menguasai setiap pertempuran. Tubuh kakuku kalah. Ku biarkan kalah. Ku pasrahkan diriku dengan nama-Nya. Puncak tertinggi memangilku. Ku pasrahkan diriku. Puncak tertinggi, menatapku. Aku tertunduk malu, tapi hatiku berharap karunia-Nya. Lalu, aku kaku, di puncak tertinggi. Semesta sudah ku tinggalkan. Puncak tertinggi memanggilku. Ku pasrahkan diriku kepada puncak tertinggi yang ku pandangi dari puncak tertinggi yang mampu ku pijak.

Samarinda, 7 Agustus 2015
Didedikasikan kepada para pencari Puncak Tertinggi.
Dan sebagai persembahan untuk adik-adikku pada komunitas Teater Bastra, Samarinda berupa Antologi Cerpen sebagai kado ulang tahun pada 21 Januari 2016.



Rabu, 05 Agustus 2015

Ku Tulis Sebuah Puisi

Ku tulis sebuah puisi,
Tentang aku dan dirimu.
Mentari malu-malu bersembunyi di balik senyuman.
Akankah semua bintang bertabur sepi,
sedang kau di sini menatapku sendiri. 
 Gelombang akan sirna diterpa senja kala.
 Anganku, kini membeku..  takdirkan hidup yang semu.
 Aku tlah sempurna bersama angin lalu
 Ku cumbu dalam alunan kata
 Terbuai dalam lamunan manja
 Aku dan rasaku
 Terbang bersama mimpimu.
 Ku coba ungkap semua rasa
 Gelora dalam tubuhku.
 Untukmu kekasih hati
 Yang dijanji.


Minggu, 26 Juli 2015

MATA TUA

ketika mata harus berkata,

Apa yang ingin kau katakan tentangku?

Kau boleh remuk redam,  mungkin juga angkuh.

Sedikit khayalku,  kau mau menerima sedikit nuraniku

Dulu,  kau ku bungkam.

Agar suara tak pernah berani berdendang.

Jangan marah!

Itu ku lakukan agar aku tetap tegak berdiri.

Aku adalah warna

Yang menyeruak pada cahaya

Aku adalah gulita

Yang membekap sisa-sisa asa

Aku angkuh dalam naung-Mu

naung-Mu,  sudah ku cari.  Ku biarkan diri lebur,  hancur.

Sehingga tinggal angkuh-Mu. 






Hafiz Al-Qur'an, Perlu atau Tidak?


Mari kita berbicara tentang mimpi atau impian!

Setiap mimpi mengalir begitu saja dalam tidur panjang. Namun, mimpi yang menjadi kenyataan disebut impian. Mimpi adalah sesuatu yang terlihat atau dialami dalam tidur. Mimpi juga berarti angan-angan. Impian berasal dari kata dasar impi dan mendapat akhiran -an. Kata impi berarti mengharapkan dengan sangat atau mengidamkan. Sementara itu, impian berarti barang atau sesuatu yang sangat diinginkan. Oleh karena itu, istilah yang cocok digunakan adalah impian. Namun, jika kawan-kawan suka dengan istilah mimpi, ya boleh-boleh saja. Tidak ada yang dapat memprotes setiap keputusan yang kita ambil. Untuk itu, izinkan saya untuk menggunakan istilah IMPIAN.

Ekspektasi dari sebuah tulisan tentang impian adalah mempercepat terkabulnya impian. Mengapa? Karena banyak yang membaca atau melihat impian yang kita tuliskan, semakin banyak orang yang berdoa agar kita berhasil mencapainya. Saat ini, saya ingin memberikan kabar kepada dunia, bahwa aku berniat hari ini untuk menjadi penghafal Al-Qur'an. 

Menjadi seorang penghafal Al-Quran sudah lama menjadi keinginan. Ketika saya SMA, saya sudah berusaha menghafal. Namun, godaan untuk menghafal sangatlah besar. Secara logis, setan tentu tidak mau kita menjadi penghafal Al-Quran. Berbagai upaya tentu dilakukan setan untuk menggoda kita melakukan hal lain sehingga kita lupa pada niatan untuk menghafal Al-Quran. 


Namun, tidaklah pantas jika kita menyalahkan setan sebagai upaya yang menghalangi kita menjadi seorang penghafal Al-Quran. Sudah menjadi tugas setan agar menggoda kita. Hal itu sudah menjadi garis takdirnya. Sementara, impian untuk menjadi penghafal Al-Quran perlu atau tidak? Hal itu bergantung pada kesungguhan niat dan keikhlasan kita, serta apa tujuan kita menjadi penghafal Al-Quran. Seseorang yang hafal Al-Quran tentu tidak ada yang berani meng-claim bahwa dirinya akan masuk surga dan diterima pahalanya. Hak itu mutlak milik Allah SWT.

Ku niatkan menghafal Al-Quran karena itu perintah Maharaja Semesta Alam Allah SWT.

Ku niatkan menghafal Al-Quran sebagai bukti kecintaanku kepada pembawa risalah Baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Ku niatkan menghafal Al-Quran karena setiap penghafal Al-Quran yang ikhlas dapat memberi syafaat kepada kedua orang tuanya sehingga ini menjadi jalan bagiku untuk berbakti kepada kedua orang tuaku.

Ku niatkan menghafal Al-Quran sebagai sedekah kepada seluruh makhluk Allah di alam semesta dari awal kejadian hingga akhir zaman. 

Ku niatkan menghafal Al-Quran untuk menjaga Kalam Allah dalam hatiku, karena neraka tidak akan membakar setiap hati yang dihiasi dengan Al-Quran. 

Ku niatkan menghafal Al-Quran untuk sedekah kepada umat Rasullullah SAW hingga akhir zaman, karena setiap huruf dari Al-Quran bernilai sedekah. 

Ku niatkan menghafal Al-Quran untuk meminang bidadari di dunia dan akhirat. 

Ku niatkan menghafal Al-Quran sebagaimana niatnya orang-orang soleh, para wali Allah, para ulama yang ikhlas, dari orang-orang yang sezaman dengan Rasulullah SAW hingga akhir zaman. 

Aamiin. Aamin. Aamin.  Allahumma Aamin. 

Seperti lazimnya etika menulis impian, maka ada ketentuan waktu pencapaian. Untuk itu, Ku niatkan menghafal Al-Quran paling lama dua tahun dari sekarang. 

Saya Rizal Effendy Panga berniat untuk menjadi Hafidz Al-Quran.

Ku mulai menghafal Al-Quran tanggal 26 Juli 2015
Ku akhiri dan ku sempurnakan hafalan Al-Quran tanggal 26 Juli 2017. 
Semoga Allah mengabulkan dan memberikan pertolongan dan petunjuknya dalam menjalani hari-hariku bersama Al-Quran. Aamin. 

Samarinda, 26 Juli 2015.



Rezeki, Jodoh, dan Mati

Rezeki. Jodoh. Mati.
Itu semua rahasia. Rahasia yang harusnya kita tahu bahwa semua itu dijamin. Jaminan yang jujur dan berintegritas tinggi. Janji yang dibuat Sang Pencipta untuk hambanya. Lalu, kegelisahan seperti apa yang menggerogoti setiap pecinta uang, ketika uang tak kunjung tiba. Kekhawatiran seperti apa yang berhalusinasi dalam pemikiran setiap pencinta lawan jenisnya, ketika laki-laki atau perempuan tak kunjung dekat. Keangkuhan seperti apa yang menenangkan, ketika maut sudah mengitari tanpa suara.
Kadang kita tidak sadar bahwa rezeki terbesar adalah kedamaian bersama-Nya.
Kadang kita tidak sadar bahwa jodoh terbesar adalah menjadi pemuja-Nya.
Kadang kita tidak sadar bahwa mati terbesar adalah ketika lupa kepada-Nya.

Sebagai seorang dalam kondisi tua menurut kebanyakan orang untuk menikah, kadang rezeki belum mendekat, sementara kematian sudah mulai menyapa. Sudah berulang kali rasa panas dingin campur aduk untuk membenamkan logika dalam sarang-sarang gelap.

Usiaku 30 tahun lebih. Belum menikah. Rezeki juga masih sempit. Umur? Aku sama sekali tidak tahu. Kebanyakan orang-orang di sekitarku, sedikit berkomentar. Mungkin juga mereka gerah. Mudah-mudahan tidak jengah dan memandangku dengan pandangan sebelah mata. Seandainya demikian, ya, itu memang sudah menjadi garis takdirku. Namun, peperangan dalam batinku tak dapat ku elakkan. Aku juga sadar bahwa ini tidak hanya terjadi kepadaku. Banyak orang yang mengalami. Pertanyaannya? Apakah hidup ini kejam? Mungkin tidak juga. Karena kekejaman hanyalah soal rasa. Sementara, rasa itu hanya sebagian dari unsur manusia yang terdiri atas Logika, rasa, dan nafsu. Logika menuntunku untuk memahami setiap peristiwa. Rasa menuntunku untuk mempertimbangkan setiap langkah. Nafsu, tentu saja membimbingku untuk bersemangat. Harapanku, seluruh unsur itu menuntunku untuk menghambakan diri pada-Nya. Itu semua ku lakukan karena aku menjalankan perintah-Nya.

Tariklah nafasmu, lalu tahanlah semampumu. Dan rasakan bahwa tanpa rezeki Tuhan-Mu kehidupanmu akan binasa.

Ingat-ingatlah orang-orang yang pernah dekat denganmu. Lalu, lihat perbuatannya. Seandainya mereka sudah bersamamu kini, apakah menjamin hidupmu bahagia. Yakinkah dirimu, bahwa Tuhan telah mempersiapkan seseorang yang sesuai untukmu menurut-Nya dan diberikan pada waktu yang tepat pula.

Datanglah ke kuburan! Coba hitung berapa jumlahnya! Berapa lama mereka berada di sana? Adakah yang berada di dalam kubur lebih lama dari umurnya.

Guru saya pernah berkata, Setiap fase kehidupan cenderung memiliki masa yang lebih panjang. Coba hitung berapa usia sperma setelah dipancarkan? Coba hitung masa kehidupan dalam kandungan? Coba hitung masa kehidupan di dunia? Coba hitung masa kehidupan dalam kubur? Coba hitung kehidupan di padang mahsyar, mizan, sirath, dan surga atau neraka?

Ku serahkan hidupku dan matiku, rezekiku, jodohku, dan agamaku hanya kepada-Mu, Ya Allah.
silahkan tempatkan kode iklan, banner atau teks disini