Rabu, 19 Januari 2011

Kyoshi

Aku terdiam sejenak di dalam ruangan yang telah lama ku tinggalkan. Ruangan yang pengap oleh debu. Tirai-tirai biru itu tak mampu membuatku merasa betah untuk berlama-lama diam di ruangan ini. Di pojok ruangan, di dekat pintu, tersusun empat buah sapu dan sebuah tempat sampah yang masih di posisinya, sama persis sebelum ku tinggalkan. Ku letakkan tas ransel kesayanganku. Tas ransel berwarna hitam, yang ku beli dua tahun lalu. Walaupun sebagian jahitannya mulai lepas, aku tetap memakainya.
Ku tinggalkan tas kesayanganku. Aku melangkah menuju tumpukan sapu, ku ambil satu sapu yang menurutku paling baik. Perlahan-lahan ku ayunkan sapu itu ke lantai ambal berwarna abu-abu. Debu-debu, serpihan-sepihan kertas, dan serpihan cat yang terkelupas dari dinding beterbangan. Semakin lama ku ayun sapu itu, semakin banyak debu-debu yang ku kumpulkan. Ku pacu semangat yang semakin meningkat memenuhi aliran darahku.
Peluh-peluh mulai menetes dari pori-pori kulit di wajahku, semakin bersemangat semakin deras pula peluh itu mengalir. Setelah lima belas menit, ku hentikan aktivitas menyapuku. Ku pandangi lantai ambal yang telah ku sapu itu. Aku meletakkan sapu itu di tempatnya semula. Ku buka jendela agar udara pengap di dalam ruangan itu bisa berganti dengan udara segar di luar.
Ku buka tirai-tirai biru itu. Perlahan-lahan ku buka jendela kaca berteralis di ruangan itu. Udara dari luar ruangan itu, berkejar-kejaran menerpa wajahku, ketika jendela itu mulai terbuka. Aku menghirup dalam-dalam udara segar, melepas kepenatanku dan menyegarkan rongga hidungku karena udara yang pengap tadi.
Hari ini adalah hari pertamaku, kembali ke sekolah setelah kurang lebih sebulan libur. Ku sandarkan tubuhku di kursi plastik berwarna putih. Ku atur nafasku kembali. Mataku tertuju pada jam tangan yang ada di tangan kiriku. ”Jam 7.15.” Mataku langsung menuju jadwal mengajar yang ada di bawah kaca, di atas meja kerjaku. Telunjukku berjalan mencari kode mengajarku. Telunjukku berhenti di nomor 32. ”Sebentar lagi, aku harus mengajar,” kataku lirih. Tanganku mulai mengumpulkan buku-buku dan alat mengajar yang sudah lama tidak bersentuhan dengan jemariku. Kemeja ku rapikan, ku ambil sisir, lalu ku sisir rambutku perlahan tapi pasti. Setiap tarikan sisir ini memberikan semangat yang begitu kuat. ”Hari ini, aku akan mengajar, ini yang ku tunggu-tunggu sampai-sampai membuatku tak bisa tidur. Aku harus siap, aku pasti bisa menjadi guru yang baik,” gumamku sambil berharap hal ini akan terjadi.
Setelah siap, langkah kakiku berderap bagai derap langkah kuda. Tangki semangat dalam tubuhku sudah ku isi penuh. Setiap langkah, menambah kepercayaan diriku. Siswaku pasti akan merasa bahagia, aku bahagia. Ketika berada di depan kelas, hatiku berdegup lebih kencang. Ku kumpulkan lagi keberanianku, ku kumpulkan lagi semangatku, ku kumpulkan lagi kekuatan alam untuk menyatu dalam tubuhku, berharap semua itu akan membantuku untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi siswa-siswa yang aku pun belum mengenalnya.
Semua mata menatapku serius, hening tak bersuara. Langkah kakiku seolah tertahan, tapi ku paksakan untuk terus melangkah menuju kursi yang ada di depan kelas itu. Ku letakkan buku di atas meja dengan taplak bercorak bunga-bunga. Ku sandarkan tubuhku, lalu ku hirup udara dalam-dalam. Anganku berkelana sejenak membawaku ke tempat yang begitu indah. Perjalananku terhenti seiring hembusan nafasku. Empat puluh pasang mata menatapku tanpa berkedip. Mungkin mereka sungkan atau ragu menegurku. Aku berdiri, mata-mata itu lebih lekat menatapku, semakin lama tatapan itu semakin tajam, menembus relung hatiku. ”Inilah harapan bangsaku, apapun akan aku lakukan untuk mereka, merekalah semangatku dalam mengarungi tugas mulia ini,” desahku yang tak mampu keluar dari bibirku.
Sejenak ku pandangi mereka satu persatu. Entah apa yang terjadi, begitu melihat mereka semangatku tiba-tiba membesar, membesar lagi, membesar dan terus membesar menembus batas kemampuanku dan pecah berhamburan. Tak kuasa aku menahan, ku biarkan luapan itu berkejar-kejaran dalam aliran darahku. Memacu pikiranku dan akhirnya aku tak kuasa membendungnya lagi. ”Selamat pagi, Anak-anak,” lidahku mulai beraksi. Sebuah ungkapan paling hangat dan tulus dari dalam hatiku yang terbendung dari seluruh semangatku pagi ini. Sebuah ungkapan sederhana yang sarat makna. Sebuah puisi ketulusan.
”Selamat pagi juga, Pak,” kata mereka serempak. Sapaan-sapaan yang mengalir dari semangatku pagi ini begitu deras. Rasanya ingin ku alirkan sungai di mataku, tapi ku bendung sebisaku. Mereka begitu semangat, matanya berbinar, senyumnya merekah, memamerkan gigi-gigi mereka yang putih. Pikiranku pun mulai bergemuruh, materi-materi pelajaran yang ku siapkan sejak malam tadi pun tak mau kalah, memaksaku, untuk segera melesat dari mulutku menuju pikiran-pikiran jernih anak-anak itu.
Ku kenali nama mereka. Sambil berkelakar, satu persatu nama-nama mereka masuk dalam bank ingatanku, terkunci rapat. Semangat mereka yang haus, memancar menerpaku yang tak terkendali dengan aliran semangat yang begitu dahsyat, berputar-putar dalam ruangan itu. Siap melemparkan kejenuhan dan rasa bosan. Ku ajak mereka menyelami setiap kata demi kata yang ku uraikan. Setelah beberapa lama, dengan senyum di bibirnya, ku akhiri pertemuan dengan mereka. Seberkas rasa hormat yang sangat tulus menerpa dinding-dinding hatiku, keluar bersamaku, mengiringi langkahku, dan menyisakan senyum hangat di ujung bibirku.
Setiap mata memandang kepergianku. Tebersit dalam hatiku, aku hanya ingin menjadi guru terbaik, guru yang akrab dengan murid, guru yang membela hak-hak siswa untuk mendapatkan semua hal yang berguna. Guru yang menjadi teladan. Guru yang menjadi teman di kala sedih. Teman di kala berjuang untuk menggapai mimpi-mimpi liar yang terus berkelana dalam pikiran siswa-siswaku.
Namun, tatkala aku lihat sekelilingku, sebuah pertanyaan muncul dalam benakku. Mampukah? Ya. Mampukah aku mewujudkan cita-cita siswa-siwaku yang semangatnya menghujamku hingga sekarang. Terkadang aku ragu. Ragu dengan keterbatasan kemampuanku.
Keraguan itu muncul, jika ku ingat sapaan guru yang lain di waktu yang lalu. ”Berapa Bapak dibayar untuk melaksanakan belajar tambahan di sore hari?” Aku bingung, sedih. Sebenarnya ingin ku jawab, tapi aku memilih diam. Ku resapi dalam-dalam kalimat yang disampaikannya. Mungkinkah tujuan menjadi guru telah berubah? Mungkinkah guru, bukan lagi menjadi tugas mulia, seperti angan dan impianku selama ini? Apakah profesi mulia ini telah terkotori oleh debu-debu yang mengatasnamakan dirinya dengan uang? Begitu sempitkah? Begitu lunturkah? Mau jadi apa pendidikan di negeri ini, jika segala sesuatu di ukur hanya berdasarkan rupiah. Sementara, di luar sana banyak sekali orang yang berharap agar pendidikan di negeri ini dapat menunjukkan cakar keagungannya.
Ku buka pintu, berwarna abu-abu. Di atasnya tertulis ”Laboratorium Bahasa”. Ku langkahkan kakiku, lalu keletakkan buku-buku yang ku pegang di atas meja. Aku menyandarkan punggungku di sebuah kursi plastik berwarna putih. Ku coba membuang kepenatan yang mulai mengganggu dan menggerogoti semangatku. Anganku terus membawaku berkelana, mencari jawab. Kegelisahan ini semakin lama, semakin membuatku merasa takut. Takut yang tak pernah ku tunjukkan di depan kelas, takut yang ku bungkus dengan semangat. Membakar. Membangkitkan adrenalin siswa-siswa yang mendengar suaraku. Tak pernah sedetik pun, aku menunjukkan kegelisahanku ini.
Tetapi, pikiran-pikiran ini terus memaksaku. Ia berusaha unjuk kebolehan di depan siswaku, namun selalu ku hadang dengan segenap kemampuanku. Tak akan ku biarkan siswaku mengetahui kegelisahanku selama ini. Pikiran-pikiran ini hampir saja terlepas dari bendungan yang ku bangun dengan susah payah. Tetapi untung saja, hal itu tak terjadi.
Ku buang lamunanku jauh-jauh. Aku berdiri. Dari kejauhan salah seorang guru datang menuju ke arahku. Namanya Pak Irfan. Pak Irfan mengajar mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah tempatku mengajar. ”Pak Zul, tidak mengajar?” tanyanya. Aku hanya menggeleng, lalu ku persilakan ia masuk. Kami pun duduk di lantai yang beralaskan ambal. ”Pak Irfan juga tidak ada jam mengajar?” tanyaku. Ia pun hanya menggeleng.
Ku lihat ia bersandar di dinding. Ku perhatikan raut wajahnya, sepertinya ia punya masalah yang cukup berat. Setelah beberapa kali menarik nafas. Ia pun mulai mengeluarkan kata-kata. ”Nasib-nasib, jadi guru itu ternyata tidak enak. Gajinya kecil. Sementara itu, kita dituntut untuk maksimal dalam bekerja. Membimbing anak orang lain. Ya. Kadang-kadang kita malah lupa membimbing anak sendiri.” Aku tak berani menyela ucapannya, ku biarkan ia bercerita panjang lebar.
”Mereka yang berada di luar sana saja, bisa punya penghasilan besar. Padahal, pekerjaan mereka tidak seberat pekerjaan kita. Guru itu kan tidak hanya sekedar mengajar, tapi juga mendidik. Jika kita ketemu dengan anak-anak yang penurut, ya tidak jadi masalah, tapi kalau kita ketemu dengan anak yang bandel, susah diatur. Ini malah jadi beban pikiran kita. Kita mau keras, nanti kita kena pasal pelanggaran HAM. Kalau lemah, anak-anak ini malah akan semakin liar, tak terkendali. Lantas kita harus berbuat apa? Belum lagi, masalah-masalah di rumah. Biaya makan hari-hari, biaya anak sekolah, uang jajannya. Kalau kita sehat terus sih, tidak apa-apa. Kita masih bisa mencari tambahan penghasilan di luar. Tapi kalau kita sakit, kita dapat dari mana untuk memenuhi tuntutan keluarga kita.”
Ku pandangi lekat-lekat Pak Irfan. Ingin rasanya, aku membantu menghilangkan beban pikiran yang mengganggunya saat ini. Namun, aku pun tak tahu harus berbuat apa. Ku dengarkan setiap kata-katanya. Kegelisahanku yang tadi ku tinggalkan datang menyerangku kembali. Apalagi setelah Pak Irfan meninggalkanku seorang diri di ruangan ini. Ia harus pergi, kelas X D telah menunggunya. Ia harus mengajar. Serangannya begitu kuat, hingga kepalaku terasa sakit semua.
Benarkah guru sudah tidak lagi menjadi pribadi yang agung, yang digugu dan ditiru oleh siswanya? Apakah rupiah telah mengalahkan ketulusan pengabdian seorang guru? Apakah semua ini hanya mimpi, tapi ini nyata. Bayang-bayang ini terus menghantuiku setiap hari. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap minggu, berbulan-bulan hingga hari ini, kegelisahanku tentang sosok guru saat ini telah membuat kondisiku semakin melemah. Meskipun begitu, aku tetap berusaha tidak menunjukkannya pada siapa pun. Terlebih lagi, pada anak didikku. Bagiku mereka adalah pelita kehidupan yang mengiringi perjalanan hidupku.
Perasaanku semakin tertusuk lebih dalam melihat kenyataan ini. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya ingin menjadi guru yang ideal bagi anak-anak didikku. Meskipun banyak kekurangan pada diriku yang mulai sakit-sakitan ini. Aku harus semangat. Ya, aku harus tetap semangat. Semangat yang harus ku jaga sampai kapan pun.
Seiring dengan perjalanan pikiran hatiku yang terus berkelana. Aku semakin mencurahkan perhatianku pada mereka. Sebenarnya, banyak sekali guru-guru yang lain, namun mereka sedang sibuk memikirkan urusannya masing-masing. Aku tak enak, jika harus mengganggunya. Ku biarkan saja mereka sibuk dan larut dengan akivitasnya. Dalam hati kecilku, aku ingin mereka membantuku membimbing generasi bangsa ini, tetapi aku terlalu lemah untuk mencampuri urusannya dan mengajaknya untuk meluangkan waktu, membina generasi bangsa ini.
Setiap pagi aku berusaha datang lebih awal. Hari-hariku, ku hiasi dengan perhatianku pada wajah-wajah yang haus akan ilmu ini. Ku keluarkan seluruh kemampuan yang tersisa dari dalam tubuhku yang semakin rapuh. Aku memaksa tubuh rapuh ini, untuk mengeluarkan sisa-sisa kekuatannya. Semakin hari ku paksa, tubuh ini semakin lemah dan terus melemah setiap harinya.
Hari ini, aku tak sanggup pergi ke sekolah. Badanku menggigil. Wajahku pucat. Istriku menutup tubuhku dengan selimut yang tebal. ”Mas, istirahat ya!” kata istriku. Aku menatap wajahnya. Tampak kesedihan di matanya. Semakin lama ku pandang, wajah itu mengalirkan air matanya. Aku mengelap air mata itu. ”Jangan sedih, mas tidak apa-apa kok. Mas, akan sembuh. Anak-anak sudah pergi sekolah?” Wanita di depanku ini, hanya mengangguk. Ku peluk, perlahan-lahan ku sandarkan kepalanya di dadaku yang terasa semakin sesak. ”Mas, saya hamil.” Aku tersentak, ku tatap wajahnya, lalu ku peluk lagi dengan erat, ku belai rambutnya. Tubuhku yang tadi menggigil, kini tak terasa lagi meski sekujur tubuhku seperti kaku. Aku gembira menerima kabar ini. Rasanya, ingin ku kabarkan pada dunia, biar mereka bisa merasakan kegembiraanku ini.
Tak terasa, perut istriku semakin membesar, saat ini usia kandungannya sudah delapan bulan dua puluh tujuh hari. Perkiraan dokter, anakku akan lahir tiga belas hari lagi. Namun, di balik kegembiraanku yang semakin memuncak. Tubuhku pun semakin lemah. Hingga tiga hari sebelum melahirkan, secara bersama-sama, tetangga membawa kami berdua ke rumah sakit. Setelah diperiksa di Instalasi Gawat Darurat, istriku masuk di ruang persalinan, sedangkan aku masih di ruang gawat darurat.
Tubuhku semakin gemetar. Rasa sakit ini belum pernah aku rasakan. Tak lama kemudian, aku dipindahkan ke ruang perawatan. Jarum infus sudah melekat di tangan kananku. Esoknya, tubuhku semakin lemah. Ruang ini membuat nafasku semakin sesak, padahal ruang ini memiliki jendela yang cukup lebar. Jika aku sehat, ruangan ini pasti terasa begitu nyaman.
Tepat jam 12 malam, perasaanku semakin tidak karuan. Aku memanggil perawat di ruangan itu. “Mba, Saya minta tolong, ambilkan kertas dan pulpen,” kataku lirih sambil menahan rasa sakit yang bertambah. Perawat itu hanya mengangguk dan berlalu tanpa bertanya. Kemudian ia muncul lagi dan membawa buku tulis dan pulpen pesananku. Ku gerakkan pulpen itu di atas kertas. Setelah selesai ku pisahkan kertas yang ku tulis dari buku itu, lalu ku lipat dan ku serahkan kepada perawat itu. “Mba, berikan ini pada istriku yang ada di ruang persalinan,” pesanku kepada perawat itu.
Setelah perawat itu pergi, aku pun mencoba duduk, tapi tak bisa. Ku tepukkan tanganku di dinding dekat tempat tidurku, lalu ku usapkan ke wajahku. Ku tepukkan lagi tanganku ke dinding, kemudian ku sapu kedua tanganku. Ku pasrahkan hidupku, kepada pemiliknya. “Allahu Akbar” tanganku kemudian ku letakkan di atas dadaku. Perasaanku tidak karuan. Rasa sakitku semakin bertambah. Pandanganku terasa gelap, tapi rasa sakit itu hanya sebentar saja. Setelah kejadian itu, diriku merasa lebih tenang, sakit di tubuhku sudah tidak ada lagi. Apakah aku sembuh, tetapi lihatku diriku terbujur kaku, mata tertutup.
Perawat dan dokter bergerombol di sekitarku, sepertinya mereka melakukan sesuatu pada tubuhku yang kaku itu. Para dokter itu menggeleng, dan satu persatu meninggalkan tubuhku. Perawat yang menemaniku dua hari ini menutup tubuhku hingga kepala, lalu pergi meninggalkan diriku.air matanya menetes. lirih “Selamat jalan Bapak, semoga bapak bahagia di sana,” katanya lirih.
Aku teringat istriku, lalu ku coba untuk melangkah. Langkah ini terasa ringan. Sangat ringan. Semua rasa sakit yang kemarin sudah tidak ada lagi. Ku datangi ruang perawatannya, ternyata dia tidak ada. Aku melangkah ke ruang persalinan. Di ruangan ini istriku telah melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Dalam dekapannya seorang anak yang masih merah. Senyum bahagia terpancar di wajahnya. Perlahan ku dekati anak itu. Ya..anakku sudah lahir. Lalu ku kumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomat di telinga kirinya. Bayi itu tertawa. Lucu sekali. Ingin ku dekap, tapi aku tak mampu melakukannya. Ku cium dahi istriku dan anakku secara bergantian. ”Semoga kalian tetap berbahagia dan selalu bahagia.”
Pintu terbuka, perawat yang menjaga ruanganku masuk. Ia membawa secarik kertas yang ku tulis beberapa jam yang lalu. Matanya masih nampak bersedih. Tanpa berkata, ia memeluk istriku. Sungai di matanya pun meluap lagi. ”Bapak sudah tidak ada lagi, Bu,” kata perawat itu kepada istriku. Rona di wajah istriku berubah, air matanya merembes di ujung matanya dan mengalir deras, tanpa bersuara. Sepertinya, ia menahan rasa kehilangan yang sangat dalam. Kebahagiannya sirna berganti kesedihan.
Perawat itu menyerahkan kertas yang ada di tangannya kepada istriku. ”Ini apa,” tanya istriku. ”Ini tulisan bapak sebelum ia meninggal dan saya diminta untuk memberikannya kepada ibu,” jelasnya. Perawat itu meninggalkan istriku.
Perlahan. Lipatan kertas itu pun mulai terbuka. Ia melihatnya. Membacanya. ku lihat ia begitu serius menelusuri kata-kata yang ku tulis.

Istriku sayang,
Ada sebuah cerita, cerita seorang laki-laki yang mulai beranjak dewasa. Laki-laki ini adalah laki-laki yang berusaha menjadi seseorang yang amanah dan berpegang teguh pada kebenaran. Ia menyatakan cintanya pada seorang gadis yang dicintai dan dipujanya kurang lebih satu setengah tahun. Awalnya, ada keraguan di dalam hatinya, apakah wanita pujaannya ini akan menerimanya dengan sepenuh hati.
Berbulan-bulan, ia berusaha mengumpulkan keberanian pada dirinya. Keberanian untuk mengatakan perasaannya. Perasaannya yang selalu menghantui pikirannya. Akhirnya, setelah perenungan yang cukup menyita perasaan di hatinya. ia beranikan dirinya untuk mengatakan isi hatinya.
Malam itu, di depan rumah wanita itu. Ia utarakan semua keinginannya. Semua ketakutannya lenyap seketika. berpacu bersama angin. Tanpa dugaan, wanita itu pun menyambut cinta laki-laki tersebut. Malam itu, laki-laki itu berjanji dia akan menjaga wanita yang telah membesarkan hatinya dengan segenap jiwa raganya. Wanita itu adalah dirimu. Ya... wanita itu adalah istriku tercinta yang menjadi penenang dalam kehidupanku. Mas, Ridho atas segala pengorbananmu.
Mas, mohon kerelaanmu karena mas belum bisa membahagiakanmu. Sebentar lagi, anak kita lahir. Aku merasa bahwa aku tak akan sempat untuk menggendongnya. Mas, hanya berpesan padamu. Jika anak kita lahir, jagalah ia. aku tak sempat menyiapkan nama untuknya. tapi aku teringat pada sebuah kata dari bahasa Jepang ”Kyoshi” yang artinya guru. Berikan nama anak kita dengan kata itu, agar kelak dia menjadi panutan bagi semua orang. Menjadi teladan, menjadi pengemban amanah. Bimbing dia untuk menjadi penerus bangsa ini karena sudah tidak banyak yang peduli.
Mas, tidak meninggalkan warisan yang banyak. Hanya sebidang tanah dengan bangunan sederhana di atasnya dan sedikit tabungan untuk anak kita. Rawatlah anak kita! Jika kau ingin menikah lagi, menikahlah! Hidupmu masih panjang, istriku sayang! Mimpi-mimpi kita harus tetap terwujud, meski hambatan merintangi. Berjuanglah! Mas akan menantikanmu!


Seseorang yang merindukanmu,


Ahmad Zulfikar

Aliran air mata itu makin lama makin deras. ku lihat ia mengelus kepala mungil anakku. tak ada sanak saudara. hanya berdua. Ia dan anakku yang baru lahir bertepatan dengan kepergianku. Aku tak bisa lama-lama berada di sini. Ku dekati istriku, ku cium keningnya. Ku cium anakku. Mas, pergi sayang. Bapak, pergi anakku sayang.

Jumat, 14 Januari 2011

Bulan Tersenyum

Bulan tersenyum,
malam memberanikan dirinya berikrar pada langit,
mencerna ribuan gelisah lebur mengikat belaian angin.

Bulan tersenyum,
harapan insan menyusup, membawa kenangan,
berhadapan, lalu terurai lembut gelombang samudra.

Bulan tersenyum,
senyum itu, coba membelit suara,
mengalahkan matahari, mencengkeram luka-luka tersisa.

Bulan tersenyum,
merona wajahnya, sayatan halus mengelupas pori-pori cakra,
terbenam dalam redup kunang-kunang.

Bulan tersenyum,
bintang-bintang sudah ditabur, genggaman tangan tak berarti,
mengatup begitu saja, lalu kaku.

Bulan tersenyum,
kelam jiwa terombang-ambing, mendarat dalam pangkuan waktu,
ingin terlelap, lalu lupa segala.

Bulan tersenyum,
alunan dawai malam berdenting, memilukan pendamba mutiara,
terjatuh dalam kubangan, ingin melangkah bersua irama bumi.

Bulan tersenyum,
belaian angin,
gelombang samudra,
luka-luka tersisa,
redup kunang-kunang,
lalu kaku,
lupa segala,
bersua irama bumi.

Bulan Tersenyum lirih.
Menatap Matahari bangun dari peraduannya.
Kini, saatnya ku pergi.
silahkan tempatkan kode iklan, banner atau teks disini