Sabtu, 17 Desember 2011

Guruku, Sekarang Aku Guru

Langit hari ini harus menangis. Sudah beberapa hari debu jalanan di kota ini tak pernah dibersihkan. Mungkin mereka lupa caranya membersihkan. Awan sudah gerah melindungi kota ini dari matahari. Sebenarnya, langit pun protes karena harus selalu menangis, tetapi langit tidak tega melihat bumi harus sesak nafas akibat debu-debu yang berserakan. Langit menangis sejak jam dua siang. Padahal langit tak ingin menangis, tapi kenapa tangisannya begitu memilukan sehingga tangisannya tak berhenti hingga sekarang. Ketika tangisannya mulai sesenggukan, aku mulai melangkahkan kakiku dari kampus tempatku belajar. Aku tiba di kota ini sekitar dua minggu yang lalu. Aku berasal dari Samarinda. Kota kecil di mana aku belajar banyak hal. Kota ini pun merupakan ibukota provinsi yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Ya, apalagi kalau bukan Kalimantan Timur. Aku bisa sampai ke kota ini itu pun karena bantuan dari pemerintah provinsi ini. Aku diberi bantuan Pemerintah Kalimantan Timur untuk melanjutkan sekolah. Kota ini terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan. Surabaya. Aku belajar di Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Surabaya. Dalam dua minggu ini, tugas-tugas kuliah mulai memburu diriku. Beberapa tugas tak bisa tahan mengantre. Mungkin tugas-tugas ini juga menonton televisi, ketika orang-orang kaya ini membagikan rezeki mereka di tempat umum. Masyarakat berjubel berebut sembako. Tak tahan untuk mengantre karena takut tak dapat bagian. Ya, aku pun harus membiarkan tugas mana saja yang tak sabar. Ada yang minta didahulukan karena waktunya udah mendesak. Ada yang hanya pasrah karena aku singkirkan sementara dari otakku. Siapa suruh jadi tugas kok memahaminya harus baca berkali-kali. Itu pun tidak mengerti juga. Aku harus segera sampai di kos. Meski kepala agak pusing terkena tetesan hujan, aku tetap melangkah. Aku singgah di toko fotocopi, membeli beberapa lembar kertas cover dan lakban hitam. Aku sedikit terhibur. Di sebelahku, berdiri seorang wanita. Dia mahasiswa juga meski jenjangnya setingkat di bawahku. Aku bertanya sekilas di jurusan apa dia kuliah. “Fakultas Ilmu Sosial, Jurusan Administrasi Niaga,” katanya. Setelah itu, aku hanya menatap wajahnya tanpa pernah tahu namanya, sambil menunggu uang kembalian. Setelah mendapatkan uang kembalian. Aku segera melangkahkan kakiku. Aku berada beberapa langkah di belakang wanita itu. Tanpa saling menyapa, kami berpisah di depan gang di samping warung bakso. Sebuah rel kereta api terbentang. Lampu berwarna merah. Jalan dihadang dengan portal belang-belang berwarna merah dan putih. Tak lama kemudian, sebuah kereta api meluncur dengan kecepatan tinggi. aku hanya menatapnya. Tak ada orang di depan pintu, mungkin karena hujan. Jadi, tidak ada seorang penumpang pun yang rela dirinya ditusuk-tusuk hawa dingin. Mungkin lebih enak tidur kali. Tak lama kemudian, aku sampai di kos. Kos-kosan ini adalah rumah bertingkat tiga. Lantai dasar ada sebuah toko bangunan milik bapak kos. Di lantai dua, terdapat tujuh buah kamar. Aku tinggal di kamar pertama sebelah kanan bersama Pak Arif, seorang guru senior di kotaku. Kami sama-sama menerima beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Lantai tiga, terdiri dari tujuh kamar juga yang belum jadi dan tentunya tidak berpenghuni. “Pak Arif belum pulang,” batinku. Aku mengeluarkan anak kunci dan memasukkannya di lubangnya, memutarnya sekali, memegang gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Kamar gelap. Jendela masih tertutup. Ku tekan saklar yang ada di dinding, lampu pun menyala. Udara kamar pengap, meski cuaca di luar ruangan dingin. Ku buka jendela. Udara dingin dari luar mulai menggeliat masuk ke dalam ruangan ini. ruangan yang berukuran sekitar 3x3 meter. Ku letakkan tas, ku buka jaket, dan angin segera menyusup ke celah bajuku. Ku rebahkan sejenak badanku. Aku teringat sesuatu. “Selama kita menguasai ilmu kita, di mana pun kita berada kita akan selalu di pakai orang,” kata dosenku ketika aku kuliah di Universitas Mulawarman. Beliau bernama Drs. Rusdy Ahmad, M.Hum. Awalnya ku pikir, ini hanya hiburan bagi kami karena kami masuk kuliah di jurusan yang tidak menjadi favorit untuk banyak orang. Saat itu, usiaku delapan belas tahun. Tahun 2002, aku memulai statusku sebagai mahasiswa di Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Mulawarman. Begitu banyak ejekan dari orang-orang yang ku kenal. “Untuk apa masuk di jurusan bahasa Indonesia. Orang Indonesia, kok belajar bahasa Indonesia lagi. Memang nggak bisa bahasa Indonesia ya,” kata temanku di jurusan yang lain. Aku hanya diam mendengar ini. “Bahasa Indonesia itu membosankan,” temanku yang lain menuturkan. Banyak kalimat-kalimat serupa yang menganggap sebelah mata jurusan yang ku tempuh. Hampir setiap hari, aku mendengar ejekan-ejekan ini. Bahasa Indonesia adalah pilihan kedua, ketika Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Aku belum merasakan kedekatan batin dengan jurusan ini. Sampai-sampai aku punya niat untuk pindah jurusan di tahun berikutnya ke Bahasa Inggris. “Mungkin tahun ini, aku kurang beruntung,” batinku sambil terus memberi semangat kepada diriku. Bahasa Inggris adalah jurusan favorit. Aku niatkan untuk terus memperbaiki diri. Hari ini aku kuliah, Linguistik. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Pak Rusydi mengampu mata kuliah ini. Beliau tidak terlalu tinggi, tidak banyak bicara, namun tegas dalam penyampaian. setiap mata kuliah beliau selalu hening karena beliau tidak begitu suka dengan kegaduhan. Bagi beliau, ilmu nomor satu. Bahkan terkesan tidak menyukai mahasiswa yang hanya fokus pada kegiatan kemahasiswaan tanpa pernah peduli dengan kemampuan akademisnya. “Kalian datang kemari, dibiayai orang tua untuk kuliah bukan untuk berkegiatan, dan satu hal perlu kalian ingat, kalian tidak bisa mengikuti segala kegiatan di kampus ini tanpa pernah menjadi mahasiswa di kampus ini,” itu kata-kata beliau yang sering terlontar, jika menyikapi mahasiswa yang menghabiskan masa studinya hanya untuk berkegiatan tanpa pernah peduli dengan kuliah. Mengikuti kuliah beliau, membuat aura idealisme pada diriku yang baru menjadi mahasiswa terasah. Satu bentuk kesempurnaan dan menjadi yang terbaik perlahan-lahan tertanam dalam batin dan pikiranku. Mata kuliah ini begitu menyita perhatianku dari keinginan diriku untuk pindah jurusan. Seiring berjalan waktu, keinginan itu pun berangsur-angsur hilang. Aku mulai mencintai pilihanku meski tanpa disengaja. Ketika mendaftar, om memilihkan jurusan bahasa Inggris karena melihat peluang kerjanya. Aku harus punya dua pilihan, pilihan pertama sesuai pesanan om dan pilihan kedua daripada bingung-bingung aku memilih bahasa Indonesia karena sama-sama bahasanya. Selepas dari semester satu, akhirnya aku memiliki sebuah pilihan. Aku tetap berada di jurusan bahasa Indonesia karena aku mencintainya. Kembali terngiang kalimat yang sering diucapkan oleh Pak Rusydi setiap kali beliau memberikan kuliah di kelas kami. “Selama kita menguasai ilmu kita dimana pun kita berada kita pasti akan dipakai oleh orang lain,” ingatku sambil terus membenamkannya ke dalam lubuk hatiku. Pelajaran berikutnya yang saya pelajari, beliau adalah orang yang taat prosedur dan melakukan segala sesuatu berdasarkan ketentuan yang berlaku dengan dasar logika yang jelas. Hari ini aku datang ke kampus cukup pagi. Aku melihat sebuah pengumuman di depan ruang dosen. Pengumuman tentang beasiswa S2. “Beasiswa S2. Syarat: Lulus S1, IPK minimal 3.50,” ku baca tulisan itu. Entah, perasaanku tiba-tiba mengarahkan untuk mengambil sebuah keyakinan bahwa suatu saat saya akan mendapatkan beasiswa S2. Aku yakinkan dalam diriku untuk menetapkan angka yang ku peroleh selama perkuliahan harus lebih dari 3.50. Selang setahun, aku tak mengingat pengumuman itu lagi. Namun efek dari keyakinan itu memberikan kekuatan bagiku untuk mendapatkan angka itu. Semester pertama IPK 3.47 dan semester kedua IPK 3.33. aku jalani terus perkuliahan. Grafik IPK dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang signifikan. Tiga tahun setengah aku menyelesaikan teori perkuliahan. Pengaruh lingkungan membuat diriku memilki fokus yang beragam. Diawali penundaan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) karena menyibukkan diri dengan kegiatan di luar kampus. Ditambah lagi beban mengajar yang semakin padat di sebuah SMP swasta. Akibat bujukan teman untuk belajar berwirausaha, akhirnya aku tak menyerahkan berkas KKN yang telah ku susun. Dua bulan kemudian, aku Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di sebuah sekolah ternama di kota ku selama empat bulan dengan hasil yang mendekati sempurna. Setelah PPL ini, teman-teman mulai menggarap skripsinya, sementara diriku sibuk menyiapkan berkas untuk mengikuti KKN yang tertunda. Aku belum bisa mengurus skripsi karena konsentrasi terpecah. Akhirnya aku memilih untuk menyelesaikan KKN terlebih dahulu. Selesai KKN, teman-temanku sudah mulai menyiapkan berkas wisuda. Mereka telah lulus. Satu kegelisahan mulai timbul dalam benakku. Benarkah aku terlalu sombong? Ku renungi diriku yang selalu menginginkan kesempurnaan. Hari ini teman-temanku telah diwisuda dan aku hanya menjadi penonton. Bahkan, aku tak hadir di acara wisuda mereka. Aku masih menganggap bahwa diriku lebih baik dari mereka, tapi faktanya mereka lebih dulu selesai dariku. Aku menyalahkan diriku. Namun, aku tak begitu menghiraukan kegelisahanku. Aku sibukkan diriku untuk mengisi kekosongan hatiku dengan mengajar. Aku berekspserimen di sana. Aku harus menjadi yang terbaik bagi mereka. Aku gelisah, ketika guru mengajar hanya sekadar mengajar, terlebih lagi mengajar hanya untuk mengejar uang. Kuliah ku lupakan. Yang ku ingat hanyalah, bagaimana membuat siswa menjadi lebih baik. Sudah lima tahun usia perkuliahanku, aku sadar jika tidak ku kerjakan ini tidak akan selesai. Kebetulan dosen pembimbingku adalah Pak Rusydi. Aku datang ke rumah beliau menceritakan persoalanku, kemudian ku tunjukkan keseriusanku untuk menggarap skripsiku. Di sela-sela mengajar, aku mulai mengetik huruf demi huruf skripsiku. Konsultasi, revisi, konsultasi lagi dan terus begitu. Hingga ada sebuah cobaan, Proposal skripsi yang sudah ku buat terkena virus. Cadangan data di beberapa teman juga terkena virus. Akhirnya, berhenti lagi untuk menulis skripsi. Setelah dua bulan, komputer di sekolah diperbaiki, aku buru-buru mencari data yang telah ku ketik. Aku lihat folder dengan bertuliskan namaku. Ku buka dan ku arahkan pointer ke arah file, ku klik dua kali. Aku melihat file ku masih ada. Ku periksa keseluruhannya, masih lengkap. Dalam hati aku bersyukur. Segera ku hubungi Pak Rusydi dengan membawa berkas proposal skripsi. Beliau bertanya mekanisme saya dalam menjalankan penelitian. Aku menjawabnya sesuai teori yang ku himpun. Dengan sedikit revisi, akhirnya aku bisa maju seminar proposal. “Zal, setelah seminar proposal ini segera lakukan penelitian!” “Baik, Pak!” “Bagaimana persiapannya?” “Saat ini, saya masih mengumpulkan dana untuk biaya perjalanan dan membeli beberapa alat penelitian.” “Segera, kalau ada kesulitan hubungi bapak!” “Baik, Pak!” “Satu lagi, jangan lama-lama, setelah penelitian cepat selesaikan skripsinya.” “Baik, Pak” Setelah dana terkumpul. Alat-alat dan bahan penelitian telah ku beli. Aku pun berangkat menuju perkampungan Dayak di pedalaman Kalimantan Timur. Aku meneliti di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kaltim. Jarak tempuh dari kotaku sekitar 8 jam. Waktu ini adalah kondisi normal. Jika jalan rusak, untuk sampai ke daerah ini bisa berhari-hari terutama pada saat musim hujan. Beruntung saat ini cuaca cerah dan kondisi jalan masih mulus karena baru diperbaiki. Aku meneliti di dua desa. Desa Deaq Leway dan Desa Nehas Liah Bing. Jarak antara dua desa ini 30 menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Desa Deaq Leway adalah tempatku KKN, jadi aku sudah tebiasa dengan warga di sana. Aku berada di desa ini sekitar dua minggu, ketika data sudah cukup, aku pamit kepada mereka. Aku pulang ke Samarinda membawa membawa serta data-data penelitianku. Berbulan-bulan ku curahkan perhatianku untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. timbul kejenuhan yang membuat diriku berhenti. Hingga akhirnya ditengah kebuntuan, tanpa sengaja aku ketemu dengan dosen pembimbingku. Siapa lagi kalau bukan Pak Rusydi. Ada rasa malu yang menyelinap masuk di hatiku. Beliau langsung bertanya tentang skripsiku yang sudah setahun belum terselesaikan setelah penelitian. “Saya bingung, Pak. Ada beberapa data yang belum bisa saya selesaikan,” kataku dengan perasaan was-was. “Kalau bingung tanya. Jangan diam saja. kalau diam ya, nggak selesai-selesai. Besok saya mau lihat apa yang kamu temukan. Temui saya di kampus,” kata Beliau. Akhirnya, aku pasrah. Esok harinya ku bawa data penelitianku dan menunjukkan kepada beliau. “Apa yang kamu bingungkan.” “Bagian analisis datanya, Pak. Ada beberapa data yang belum saya temukan padanannya.” “Inikan tinggal dibuat begini terus analisisnya begini,” “Wah kalau begitu saya bisa, Pak!” “Kalau bingung, ya tanya. Jangan diam saja. kalau nggak mau nanya ya nggak bisa selesai-selesai. Cepat selesaikan!” “Iya, Pak. Terima kasih.” Hari yang kutunggu, mungkin juga dinanti-nantikan oleh kebanyakan mahasiswa tiba. Hari ini aku disahkan sebagai sarjana. Aku harus rela menanggalkan status mahasiswaku untuk bertempur di dunia nyata. Ku ucapkan syukur. Namun, hari bahagiaku tak sempurna karena bapakku tak bisa hadir. Beliau sedang sibuk dengan pekerjaannya. Sedih. Aku harus tetap tersenyum. Mungkinkah, Bapak kecewa padaku karena harus lulus dalam waktu 6 tahun. Cepat-cepat ku lupakan. Mungkin bapak hanya sibuk. Aku laki-laki, harus bisa tegar dihadapan beliau, apalagi Mama mendampingiku. Ibuku punya sebuah cita-cita. Anaknya jadi pegawai. Sekarang aku sudah mengajar di SMA Negeri di kotaku dengan status Pegawai Negeri Sipil. Secara lahir, saya sudah mewujudkan keinginan ibuku. Namun, diriku masih bergejolak. Hasratku untuk terus belajar tak pernah padam. Sering ku tuliskan dalam setiap soal-soal yang ku berikan kepada murid-muridku. “Prof.Dr. H. Rizal Effendy Panga, S.Pd. M.Pd.” Inilah yang jadi hasratku untuk terus belajar. Satu gelar telah ku dapatkan. Berita itu datang mengejutkan. Informasi yang sudah lama ku nantikan. Informasi beasiswa S2 dari pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Aku mendengar dari rekanku di kantor. Hari itu juga ku telusuri kebenaran informasi itu. Aku tak bertemu dengan pejabat yang berwenang menangani informasi ini. ketika, aku bersantai di rumah. Adik mamaku datang membawa satu berkas surat berisi informasi yang sedang ku cari. Aku membacanya. Jurusanku, dicari 15 orang untuk menerima beasiswa ini. Ku persiapkan mentalku. Ku persiapkan segalanya. Mulai dari perizinan kepada kepala sekolah, instansi terkait. Hingga akhirnya aku bisa mengumpulkan berkas beasiswa ini di dinas pendidikan kotaku. Aku pun menjalani serangkaian tes. Impian tak pernah meninggalkan orang yang mencari dan berusaha meraihnya. Sore itu, dering telepon selulerku membawa sebuah pintu ke arah mimpiku. “Zal, informasinya udah ada tuh, coba dicek namamu ada atau nggak?” kata kawanku di seberang sana. “Iya, Kang Mas. Terima kasih,” Aku pun bergegas membuka laptop dan mencari informasi yang ku nantikan. Setelah klik sana-sini. Ku temukan seberkas surat keputusan penerima beasiswa yang di surat itu tertera nama ‘Rizal Effendy Panga’ di urutan nomor 2. Aku bersyukur. Ku kabarkan pada orang tuaku. Ku kabarkan pada dunia. Aku menemui guruku. Beliau senang. Beliau memberikan semangat baru kepadaku untuk terus belajar. “Belajarlah, nanti kamu akan lihat bedanya. Gali ilmunya,” kata beliau. Aku hanya mengangguk. Aku mohon doa kepada beliau agar studiku juga bisa berhasil. “Tok…tok…tok….” “Zal, buka pintu!” Aku terhenti dari lamunanku. Pak Arif sudah datang rupanya. Cepat ku buka pintu kamar kosku. Setelah itu, aku pun bergegas mandi. Kota ini cukup panas, sehingga tubuhku pun harus menyesuaikannya. Banyak hal yang harus ku pelajari disini. Salah satunya, aku bertemu lagi dengan seorang guru yang mengajarkan kepadaku hal baru lagi. Pak Budi namanya. “Jadi orang pintar itu harus tahu tata krama. Harus banyak belajar. Master itu seperti empu. Jadi ya, mesti belajar. Belajar untuk berani berbeda dengan orang lain. Berbeda yang berazas.” kata Pak Budi. Guruku sekarang aku guru. Aku harus belajar untuk menjadi Mahaguru. Sekarang aku mulai tahu, bahwa aku banyak tidak tahu. Semakin ku gali. Semakin ku tambah kepandaianku. Semakin aku tak mampu mengatakan bahwa diriku adalah orang pintar. Semakin malu aku mengumbar pengetahuanku yang sedikit, sementara begitu banyak pengetahuan yang terselubung yang belum mau menampakkan dirinya padaku. Guruku sekarang aku guru. Namun, pantaskah diriku disebut guru, ketika seorang muridku bertanya aku tidak melayaninya dengan ikhlas. Aku harus berkenalan lagi dengan pengetahuan yang masih sungkan untuk menyapaku. Mungkin karena aku lupa kepada mereka selama ini atau mungkin karena aku terlalu bangga pada milikku yang sedikit. Guruku, sekarang aku guru yang terus belajar untuk menjadi Mahaguru, bukan hanya demi diriku tetapi karena banyak produk pendidikan yang salah jalan. Banyak produk pendidikan yang korupsi. Banyak produk pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Banyak produk pendidikan yang hanya mementingkan dirinya. Aku yang salah karena aku guru, meski aku tak pernah mengajari mereka.
silahkan tempatkan kode iklan, banner atau teks disini