Selasa, 17 Januari 2012

Mimpi Itu Nyata, Terkadang Nyata Menjadi Mimpi

Rizal Effendy Panga. Lahir di Tabang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur 9 November 1983. Lahir dari pasangan Rusman Panga dan Yatmiatun. Lahir dari keluarga yang berbeda suku, berada di lingkungan yang berbeda suku, membuat diriku harus belajar untuk memiliki sikap toleransi. Bapak saya berasal dari Banggai, Sulawesi Tengah dan Ibu berasal dari Nganjuk, Jawa Timur. Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Adik saya kedua-duanya adalah perempuan. Menjadi anak tertua dan anak laki-laki satu-satunya juga menjadikan diri saya sebagai seseorang yang harus menjadi contoh buat adik-adik. Pendidikan formal sejak SD hingga perguruan tinggi (S1) di tempuh di Samarinda Kalimantan Timur. Lulus SD tahun 1996 di SDN 016 Samarinda. Lulus SMP tahun 1999 di SMP Negeri 2 Samarinda. Lulus SMK tahun 2002 di SMK Negeri 4 Samarinda. Setelah lulus SMK, saya melanjutkan studi di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Mulawarman. dan sekarang sedang menempuh studi di Pascassarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Surabaya. Ketika masih kecil, saya ingin menjadi tentara. Bagi saya menjadi tentara dengan memakai seragam penuh dengan pangkat kelihatan lebih gagah dan berwibawa. Setiap ada acara televisi yang menampilkan atraksi ABRI, saya selalu menontonnya. Namun, mimpi ini berangsur-angsur lenyap. Ketika saya memasuki usia SMP, kehidupan nyata mulai menampakkan dirinya di hadapan saya. Sebuah kehidupan yang harus saya jalani. Orang tua saya bukanlah orang berada, sehingga tidak semua keinginan saya dapat mereka penuhi. Secara bertahap, saya mulai mengenal kondisi nyata keluarga kami. Ibu saya yang hanya lulusan SD selalu berkata, “Mama hanya lulusan SD, jadi susah mencari pekerjaan. Kerjaan yang penting ada, dan harus menggunakan tenaga yang besar. Kamu harus terus sekolah. Mama akan berusaha agar kamu tetap bisa sekolah. Mama ingin kamu jadi pegawai. Pegawai itu enak. Kerjaannya nggak berat. Tiap bulan dapat gaji. Setelah masa kerja habis, malah dapat uang pensiun. Nggak seperti mama yang harus banting tulang untuk menyekolahkan kamu.” Kalimat-kalimat ini terus meluncur setiap hari bagai doktrin yang semakin berakar. Saya harus rela jalan kaki pergi dan pulang sekolah. Tiap hari ini harus saya jalani. Kalau ada sedikit uang lebih, saya bisa menggunakannya untuk naik angkutan kota atau sekadar belanja kue di kantin. Hidup menuntun kehidupan saya untuk memilih. Ketika SMP, kondisi orang tua yang pas-pasan membuat diriku minder. Saya malu ketika harus berkumpul dengan kawan-kawan yang berasal dari keluarga kaya. Kalau ada teman yang mau ke rumah, saya selalu mencari alasan untuk menolak mereka datang ke rumah. Saya tidak ingin mereka melihat kondisi kehidupan saya di rumah. Saya menjadi anak yang pendiam. Kondisi ini berbalik seratus delapan puluh derajat ketika SD. Rizal kecil, meski pemalu tetap menjadi pusat perhatian dari pergaulan. Rizal kecil terus berusaha menjadi yang terbaik di kelas. Akibat rasa minder ini. mula-mula berimbas pada nilai-nilai mata pelajaran di SMP. Dari peringkat 2 di kelas satu SMP menjadi peringkat 2 dari belakang. Salah seorang guru saya yang mengetahui kondisi saya memberikan saya semangat. Nama beliau Pak Ardiansyah. Beliau memberikan semangat kepada saya untuk terus bangkit. Bahkan, beliau memberikan sebagian uangnya untuk membantu biaya sekolah saya dan uang sangu untuk jajan. Perbuatan beliau kepada saya memberikan pengaruh yang luar biasa. Kepedulian beliau mengajarkan kepada saya untuk saling berbagi. Seiring waktu, kepedulian orang-orang di sekitar saya menjadikan saya memiliki kepekaan sosial. Saya bertekat suatu saat jika saya diberikan kemampuan, saya harus mencontoh guru saya untuk membantu orang-orang yang kesusahan. Perlahan kepercayaan diri saya mulai bangkit. Pergaulan tak terbatas pada status ekonomi. Saya mulai berani memperkenalkan tempat tinggal saya kepada kawan-kawan saya. Nilai-nilai mata pelajaran mulai meningkat kembali meski untuk menjadi terbaik di kelas belum bisa saya raih kembali. Setelah lulusan SMP, saya masuk di SMK Negeri 4 Samarinda. Saat itu, dalam bayanganku cepat selesai sekolah, terus bekerja untuk membantu orang tua. Saya tidak ingin terus menjadi beban untuk orang tua saya, khususnya ibu. Ibu adalah orang yang terus mendorong saya untuk terus sekolah, walaupun beliau harus berhutang ketika membayar uang sekolah. Ketika kelas dua di SMK, ada sebuah peristiwa besar dalam kehidupan saya. Sabtu, 2 September 2000 bertepatan dengan ulang tahun adik saya yang paling kecil, saya kecelakaan. Kaki sebelah kiri bagian paha dan tulang kering saya patah karena berbenturan dengan mobil yang menabrak sepeda motor yang saya tumpangi. Padahal, saya menumpang tidak sampai 5 menit. Sebelum kejadian, saya pulang jalan kaki, teman saya lewat dengan memakai vespa, dan menawari saya untuk ikut bersamanya. Saya senang sekali. Sehubungan dengan saya mau kembali ke sekolah untuk pelantikan Paskibra, saya menerima tawaran dari kawan saya. Kejadian ini mengharuskan saya menginap di rumah sakit selama 21 hari ditambah 30 hari untuk istirahat di rumah. Awalnya saya sedih. Orang tua saya juga sedih dengan keadaan saya, tetapi mereka membesarkan hati saya. Kesedihan saya terbalas. Setelah kejadian yang menimpa diri saya. Saya menyaksikan kejadian-kejadian hebat. Tubuhku yang kecil perlahan semakin meninggi. Bapak saya yang belum pulang ke kampung kurang lebih 20 tahun, bisa pulang kampung, meski bapak sudah tidak bisa menemui kakek saya lagi. Kakek meninggal ketika bapak berada di Kalimantan. Kakek meninggal ketika saya lahir. Selain itu, orang tua saya bisa membeli sebidang tanah. Saya menyadari semakin kita bersyukur dan bersabar atas apa yang menimpa kita, maka kehidupan akan memberikan kejutan-kejutannya. Setelah lulus SMK, niat saya untuk langsung bekerja beralih untuk melanjutkan sekolah. Ibu mendorong saya untuk terus sekolah karena mengingat kondisi kaki saya. Saya berniat mendaftar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Saya meminta izin ke bapak dan ibu, namun mereka tidak mengizinkan karena harus sekolah di luar kota Samarinda. Ibu saya berkata, “Sekolahnya di sini aja, nggak usah jauh-jauh.” Saya pun akhirnya menuruti kemauan mereka. Saya bingung mau kuliah di mana. Om saya mengusulkan untuk mengambil Bahasa Inggris di Universitas Mulawarman. Menurut Om, jurusan bahasa Inggris itu masa depannya bagus karena banyak dibutuhkan orang. Saya hanya menurut saja. Ketika mengisi formulir pendaftaran SNMPTN, saya memilih Pendidikan Bahasa Inggris untuk pilihan pertama dan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah. Pada saat pengumuman, saya diterima di Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah. Jurusan yang saya pilih karena sama-sama bahasa. Awalnya saya ingin pindah jurusan di tahun depan, namun seiring perkuliahan tekad semakin kuat untuk menjalani perkuliahan. Tahun 2002 merupakan awal perkuliahanku. Saya berniat untuk menjadi yang terbaik. Di bulan-bulan awal perkuliahan, saya melihat pengumuman beasiswa S2 dengan syarat minimal 3,50. Saya bertekad untuk melanjutkan pendidikan saya semaksimal mungkin. Pengumuman ini menjadi motivasi yang begitu kuat, meskipun saat itu saya masih menjadi mahasiswa baru. Kuliah di jurusan guru, tentunya akan menjadi guru. Itulah yang terlintas dalam pikiran banyak orang. Apalagi memilih bahasa Indonesia. Jurusan ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang yang saya kenal. “Orang Indonesia kok kuliah di jurusan Bahasa Indonesia.” Tahun 2004, saya mulai mengajar. Saya mengajar di SD karena menggantikan kakak tingkat saya yang sedang KKN. Pengalaman mengajar pertama kali membuatku berkeringat dan gugup, meskipun yang saya hadapi hanyalah murid kelas 3 SD. Untuk menjadi guru ternyata tidak mudah. Di SD, saya hanya mengajar sekitar 2 bulan. Setelah itu saya tidak mengajar lagi karena kakak tingkat saya sudah kembali. Saya pun tidak mengajar lagi. Sebulan kemudian, salah seorang teman saya menawarkan untuk mengajar di sebuah SMP swasta tak jauh dari rumahku. Berbekal pengalaman dua bulan mengajar, saya memberanikan diri untuk mengajukan diri mengajar di SMP tersebut. Alhamdulillah, saya diterima. Jadilah, saya seorang guru resmi yang masih berstatus mahasiswa. Sekolah menjadi tempat saya untuk bereksperimen dan terus mencari cara-cara yang tepat dan berkenan di hati siswa-siswa saya. Berbagai perlakuan, dari menjadi guru yang suka marah-marah, suka nyubit, hingga akhirnya ku tinggalkan semua itu. Saya menyalahkan diri sendiri. Bukan siswa yang harus mengerti saya, tetapi saya yang harus memahami mereka. Setiap kejadian dalam pekerjaan sebagai guru membuat saya semakin terasah untuk menemukan hal-hal yang tidak saya temukan di kampus ketika perkuliahan. Saya ingin menjadi guru yang menjadi teladan bagi siswa-siswa saya. Bukan hanya dari segi ilmu, namun dari segi akhlak. Guru bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Pernyataan inilah yang membuat saya untuk terus belajar banyak hal. Tahun 2008, saya menyelesaikan S1 dan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Saya lulus dalam waktu 6 tahun dengan IPK 3,62, meski semua materi perkuliahan selesai dalam waktu 3,5 tahun. Saya jadi teringat dengan pengumuman yang saya baca ketika awal perkuliahan. Saya tidak pernah memberikan batasan kepada diri saya tentang kapan saya harus lulus, tetapi saya menentukan berapa nilai yang saya peroleh. Namun untuk menjadi dosen, sekarang harus memiliki kualifikasi S2. Saya tidak memiliki kualifikasi pendidikan sebagai dosen, akhirnya di tahun ini saya mendaftar sebagai PNS (Guru) di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda. Alhamdulillah, saya diterima dan di tempatkan di SMA Negeri 11 Samarinda. Sebagai seorang guru, saya masih punya keinginan. Saya sudah mengajar siswa dari tingkat PAUD hingga SMA. Saya hanya fokus mengajar pada jenjang SMA. Dalam lubuk hati saya, masih menginginkan untuk mengajar di perguruan tinggi. Guru dan Dosen bagi saya ada hal yang prinsip yang membedakan keduanya. Guru dalam memberikan penilaian tidak bisa independen karena berbagai sebab di lapangan, namun dosen dalam memberikan penilaian bisa independen tanpa ada tendensi dari pihak manapun. Saya memiliki kebiasaan untuk menuliskan nama, Prof. Dr. H. Rizal Effendy Panga, S.Pd. M.Pd. dalam setiap soal ujian yang saya berikan kepada siswa. Supaya tetap bisa berterima di soal, saya selalu mengunakannya untuk menganalisis tanda baca. Soal ini selalu saya berikan di setiap ujian. Rangkaian gelar yang menempel di nama saya meskipun saat ini masih belum semua saya peroleh, saya percaya suatu saat ini pasti terjadi. Dulu ketika saya mengingin beasiswa S2 ketika awal kuliah, hari ini saya sedang menjalani studi yang sudah lama saya impikan. Berbeda dengan S1, untuk studi S2 saya sudah menanamkan dalam hati dan pikiran saya untuk memperoleh predikat lulusan tercepat dan terbaik. Bagi saya sekolah lagi bukan hanya menjadi orang pintar namun menjadi teladan bagi orang-orang yang berada di sekitar saya, khususnya keluarga saya. Semangat ibu saya untuk melihat anaknya untuk terus sekolah kini terpatri begitu kuat. Saat ini saya menguatkan hati saya, bahwa saya akan menyelesaikan pendidikan saya hingga program doktoral. Ini saya lalukan karena orang tua saya, khususnya ibu saya. Tidak ada batas untuk mencari ilmu. Selama kita menginginkan ilmu, maka ilmu akan mendekat. Selain itu, saya punya niatan untuk menghafal Al Quran 30 juz. Penghafal Al Quran yang ikhlas bisa menjadi penolong bagi orang tuanya ketika di akhirat. Saya juga menyadari untuk menghafal Al Quran perlu perjuangan, tekun, serta sabar. Beberapa kali hafalan saya hilang karena saya tidak melakukannya secara rutin. Saya merasa kesulitan ketika harus membagi kapan saya menghafal dan mengerjakan hal lain. Sampai hari ini saya pun hanya mampu menghafal surah-surah pendek saja, namun saya masih berharap suatu saat saya bisa menyelesaikan hafalan saya. Saya punya keinginan menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Kemudahan-kemudahan dalam kehidupan saya tentu tak terlepas dari restu keduanya. Meski keinginan ini sifatnya tidak bisa diukur. Saya meletakkan keinginan ini pada urutan utama dalam kehidupan saya, setelah Keridhaan Allah dan Rasulullah SAW. Suatu saat, saya ingin kedua orang tua saya dapat berangkat haji dengan biaya dari saya. Saya ingin menghapus kerutan-kerutan di wajah ibu saya dengan senyum di wajahnya. saya ingin menjadi anak kebanggaannya. Manusia hidup berpasang-pasangan. Saya pun punya keinginan untuk menikah. Saya berencana menikah setelah menyelesaikan pendidikan S2. Saya juga punya keinginan untuk menjadi pengusaha. Namun, hingga saat ini tak satu pun usaha mandiri yang pernah saya lakukan karena aktivitas yang cukup padat sebagai pengajar. Beberapa kali usaha bergabung dengan teman, namun belum berhasil. Saya menyadari menjadi pengusaha bukanlah hal mudah. Perlu persiapan ilmu dan latihan secara terus-menerus. Seperti anak kecil yang belajar naik sepeda. Ketika jatuh, bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi. Akibat banyak jatuh mungkin terluka, namun ketika sembuh terus belajar karena satu tujuan bisa naik sepeda. Meskipun prosesnya sama, menjadi pengusaha tak seperti belajar naik sepeda karena kerugian yang mungkin diterima bukan luka yang bisa sembuh dalam beberapa hari, sehingga perlu mempersiapkan mental dan pengembangan diri. Berbagai buku-buku pengembagan diri saya agar saya mengetahui apa yang harus saya lakukan. Saya juga punya keinginan suatu saat jika diberikan kemampuan untuk memiliki sebuah sekolah. Sekolah yang independen. Tidak harus terikat pada aturan sekolah formal. Sebuah sekolah yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk berani menentukan pilihan dalam kehidupannya. Pilihan untuk menjadi orang-orang terbaik sesuai keinginannya. Sekolah yang menyenangkan. Sekolah yang membangun kerjasama tim, bukan sekolah yang hanya disuapi ilmu tetapi tidak mampu memiliki kecakapan dalam menghadapi kehidupannya. Sekolah yang menuntut siswa untuk berani berbeda dengan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan karena setiap individu berbeda dan tidak mungkin disamakan. Banyak keinginan-keinginan dalam kehidupan ini, namun keinginan terkuat adalah menjadi orang yang bermanfaat untuk banyak orang. Menjadi teladan bagi diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang ada di sekitar saya. Keinginan akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Kehidupan akan membuat kita memiliki keinginan. Keinginanlah yang akan membuat kita bersemangat untuk hidup. Hidup yang bermanfaat. Bersyukur membuat kehidupan lebih bermakna. Demikian, deskripsi yang bisa saya berikan tentang saya dan keinginan-keinginan saya dalam kehidupan ini. Surabaya, 4 Januari 2012 Pemimpi, Prof. Dr. H. Rizal Effendy Panga, S.Pd. M.Pd.

Jumat, 13 Januari 2012

Adikku

Hujan datang lagi adikku. mungkin disana juga sedang hujan. tapi aku tahu, kau masih punya asa. tak hanya diam menanti rembulan terbit malam ini. kau, pasti terus melangkah, meski kau tak kuat melangkah sendiri. tapi aku tahu kau masih punya kedua kaki. kalau lelah, istirahatlah. ketika lelahmu hilang, kembalilah untuk melangkah. kau tahu adikku, bahwa disini aku banyak menjumpai orang-orang tak berkaki, tetapi masih bisa menatap pagi sembari tersenyum. Bukan waton tapi maton (bukan asal, tapi berazas). Kemarin ku dengar, kalimat pendek itu dari guruku. adikku, kalimat ini memang sederhana. Sesederhana itukah? Ya. Adikku, kau sekarang sedang belajar bukan? Pesanku, belajarlah untuk mengatakan yang benar, bukan perkataaan yang asal-asalan. mungkin kadang-kadang orang tidak suka dengan kebenaran yang kau katakan, tapi percayalah itu akan menjadi bagian dari dirimu. matahari pun selalu benar. terbit selalu dari arah timur menuju barat. andai, matahari berbohong sekali saja kepada tuhan dan datang dari arah timur. tentu semesta akan terganggu. Mungkin kalau kita asal-asalan, orang-orang di sekitar kita juga terganggu. teruslah belajar adikku. Adikku, menenangkan hati memang tidak mudah. kadang kita bisa, kadang kita malah menambah gelisah. sementara, burung-burung hanya tahu rasa gembira, tak pernah sedih, pergi pagi mencari makan, dan pulang sore dalam keadaan kenyang. lalu tertidur. manusia memang bukan burung adikku, tapi kita bisa belajar dari semangat sang burung. Adikku, di sini hujan lagi. mungkin di sana sedang panas. namun, aku ingin kau tetap dingin. dingin yang lembut yang memberikan kesejukan bagi matahari. matahari sudah terlalu tua untuk merasakan kesejukan, mungkin juga sudah lupa rasanya bagaimana. adikku, jika kau terbangun ingatlah bahwa matahari itu akan bangkit dengan memberikan kehangatan kepada bumi dari dinginnya malam. namun, jika malam hari kau jangan bersedih, karena matahari sedang menghangatkan belahan bumi yang lain. adikku, kau tahu bukan, bahwa hibup harus bermanfaat laksana matahari yang memberikan kehangatan tanpa diminta, meskipun dirinya tak pernah merasakan kesejukan. Adikku, jangan bersedih lagi meski dunia sudah berlaku tak adil padamu. Hari ini, lahar di mataku memberontak setelah mendengar kisahmu. Mungkin itu karena aku tak bisa melihat wajahmu. Aku tahu, hatimu sedang berduka. Adikku, kau tentu ingat tentang seorang anak yang kita temui di pasar. Meski sudah lama, kau masih ingatkan dengan wajah anak itu. Kau dulu pernah bilang, dunia tak adil bagi anak itu. Tapi kini, kakakmu juga beranggapan yang sama denganmu. Dunia sedang berlaku tidak adil padamu. Adikku, kau tahu, hidup terus berlayar menuju garis finish. Meski dayungmu retak, jangan kau biarkan dayung itu patah. Ikatlah yang kencang agar kuat menahan gelombang kehidupan. Aku tahu kau masih bisa tersenyum adikku. tersenyumlah yang paling manis, yang belum pernah kau tunjukkan kepadaku.
silahkan tempatkan kode iklan, banner atau teks disini