Selasa, 29 November 2011

Penyair

Penyair muda menyair lagi. Lama tak bersua pena, berseloroh mengkritik langit, menjual mimpi untuk bumi. Fenomena negeri menyeruak ke wajah-wajah jelata. Begini memang jadi penyair. Gelisah menuntun tak kenal ujung. Menggelisahkan penguasa, menemu gelap kekuasaan. Penyair sudah tua. Menegur diri, tak banyak cerita, mulai bercinta dengan penguasa. Penguasa para penguasa. Surabaya, 29 November 2011

Senin, 28 November 2011

Gerobak Dorong Pasar Pagi

Langit mulai menangis lagi, tapi kali ini bumi bahagia karena tangisan langit bisa menghilangkan debu-debu jalanan yang menyesakkan penghuni rahimnya. Langit masih tampak murung, tapi bukan bersedih. Langit hanya ingin bercerita pada sang surya agar segera bangun dari peraduannya. Langit ingin agar sang matahari mulai memanaskan bumi agar penghuni rahimnya bisa segera melakukan aktivitasnya lagi tanpa pernah merasa terganggu dengan tangisan langit. Samarinda. Ya, samarinda ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Itulah kota itu. Sudah lama samarinda tidak hujan. Pagi ini hujan cukup deras, namun matahari perlahan mulai memanaskan air-air yang menggenang. Jalanan pun sudah tak becek lagi. Semua orang bergegas pada pekerjaannya masing-masing, meninggalkan peristirahatan untuk berkelana mencari rezeki Sang Ilahi. Begitu juga nanang, seorang pendorong becak angkut di pasar pagi. Rumahnya cukup jauh dari pasar pagi. Ia tinggal di sungai dama, rumahnya agak ke puncak berada di gunung mangga. Gunung mangga ini sebenarnya bukan gunung tapi merupakan nama jalan menanjak yang cukup tinggi. Memang jika kita jalan kaki dari bagian bawah hingga ke puncak memerlukan tenaga yang cukup. Jika tidak, pasti akan manggah nafas kita, lebih tepatnya nafas yang ngos-ngosan. Namun, berbeda dengan nanang yang sudah terbiasa setiap hari ia berangkat dan pulang melalui jalan ini. Tubuhnya tidak pernah protes kepada pemiliknya. Pagi ini nanang harus ke pasar pagi, meski tubuh ringkihnya sedikit terbatuk-batuk. Nanang alergi terhadap dingin, tapi itu tak menyurutkan langkahnya. Hari ini hari minggu. Pasti banyak orang yang berbelanja ke pasar pagi. Nanang berharap hari ini dia mendapatkan rezeki yang lebih banyak dari hari biasanya. Hari ini ulang tahun pernikahannya yang ke-10. Ia berharap di hari istimewa ini, ia bisa pulang membawa hadiah kecil untuk istrinya tercinta. Ia juga berharap kepada Sang Pemurah, agar mau memberinya rezeki dan mendukung niatnya. Ia ingin memasak makanan yang lezat dan menyajikan untuk istrinya. Ia harus segera bergegas. Jam tangan lusuhnya menunjukkan pukul 07.00 pagi. Setelah berpamitan dengan istrinya sembari mencium keningnya, ia mengambil sepeda ontel miliknya. Nanang mengayuh sepedanya dengan perasaan gembira. Ia yakin, alam akan mendukung niatan sucinya untuk membahagiakan istrinya. Semua hal dia lakukan untuk istrinya. Perlu waktu lima belas menit untuk sampai ke pasar pagi. Sesampainya di sana, ia mengambil gerobak yang ia sewa sehari dua puluh lima ribu rupiah dari juragan gerobak. Sebenarnya, ia ingin memiliki gerobak sendiri. Tapi untuk membeli sebuah gerobak ia harus mengumpulkan bertahun-tahun. Ia sudah menabung, tapi belum cukup untuk membeli sebuah gerobak. Ia mengambil gerobak yang selalu menemaninya mengais rezeki. Nanang mencari pelanggan sendiri. Kadang-kadang seharian ia tidak mendapatkan pelanggan, sementara sewa gerobak tetap harus dibayar. “Nanang, apa kabar hari ini, kelihatannya senang betul,” sapa Rudi, teman seperjuangan mendorong gerobak. “Baik, Rud. Nggak ada apa-apa. Bagaimana kabarmu, dua hari kamu nggak muncul,” Nanang membalas sapaan kawannya. “Biasa, demam lagi badanku, sampai nanti, saya mau narik dulu,” berlalu begitu saja di depan Nanang. Nanang hanya duduk di atas gerobaknya menunggu pelanggannya atau orang yang memerlukan jasanya. Sekali narik gerobak, Nanang diberi ongkos lima sampai sepuluh ribu rupiah. Setelah menunggu satu jam baru ia mendapatkan pelanggan pertamanya. Seorang ibu memanggilnya untuk mengangkat barang-barangnya. Barang ibu ini cukup banyak. Nanang meletakkan satu persatu barang ibu itu. Dua menit Nanang sudah bolak-balik, akhirnya ia berhasil meletakkan semua barang ibu itu. Nanang menarik nafas dalam, mempersiapkan tenaganya untuk mendorong barang ibu itu yang menggunung di gerobaknya. Roda gerobak mulai bergerak seiring dengan dorongan tenaga dari tubuhnya. Nanang mengantar barang-barang ibu itu ke mobilnya yang berada di luar gerbang pasar pagi di Jalan Jenderal Sudirman. Tak berapa lama, ia pun sampai di mobil itu. Ibu itu membuka bagian belakang mobilnya. Nanang pun bergegas memasukkan barang-barang tersebut. “Berapa ongkosnya, Bang?” sapa ibu itu. “Sepuluh ribu.” jawab Nanang singkat. Ibu itu memberikan satu lembar uang sepuluh ribu dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Sampai tengah hari, Nanang sudah mendapatkan uang sebesar enam puluh lima ribu rupiah. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 Wita. Nanang bergegas menuju ke Masjid Raya Darussalam. Masjid ini terletak di sebelah timur Pasar Pagi Samarinda. Di sebelah kiri masjid, membentang sungai terpanjang di Kalimantan Timur, Sungai Mahakam. Sungai tempat Pesut, ikan langka yang terancam punah. Ia menuruni tangga yang bermuara pada sebuah tempat wudhu di bawah tanah. Nanang bersyukur hari ini, Allah menyanginya, memberikan kesehatan, kekuatan. Setelah berwudhu, ia pun beranjak menuju masjid dan melaksanakan kewajibannya sebagai rasa syukur atas anugerah Allah SWT kepada diri dan keluarganya. Setelah selesai bermunajat, ia duduk di masjid bagian belakang dan membuka bungkusan yang dibawanya dari rumah. Bungkusan yang berisi menu makan siang yang dibuatkan istrinya tadi pagi. Menu siang ini, Nasi dan telur dadar goreng. Istrinya pun membawakan sebotol minuman. Cukup sederhana, namun Nanang menyukuri karunia Ilahi yang membuatnya tetap sehat. Ia sudah mengantongi uang senilai empat puluh ribu dan uang sewa senilai dua puluh lima ribu sudah ia bayarkan kepada pemilik gerobak. Setelah melepas lelah dan mengisi perutnya, Nanang menjadi semakin bertenaga. Namun tenaga ini tak sepenuhnya dari makanan, tetapi karena ia ingin segera pulang dan memberikan kejutan untuk istrinya. Ia harus bersemangat, masih ada waktu baginya untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menambah rupiah yang telah ia dapatkan. Nanang kembali mangkal di gerobaknya. Menunggu. Mengangkut. Berlari. Mendorong. Semangatnya hari ini jauh lebih kuat dari hari-hari sebelumnya. Pukul 3 sore, pasar mulai sepi. Sebagian kawan-kawannya sudah pulang. Nanang sudah mendapatkan uang sebesar 120 ribu rupiah. Ia pun segera menuju kamar kecil untuk mengganti pakaiannya. Di kamar mandi, Ia melihat seorang laki-laki berkacamata, berjaket kulit. Nanang hanya melihat sepintas, lalu masuk ke toilet. Tak lama kemudian, Nanang keluar dari WC. Ketika melintas di depan laki-laki itu, Laki-laki tadi memegang pundak Nanang dari belakang, menegurnya, mengajaknya berbicara. Nanang seakan-akan lupa niatnya untuk segera pulang. Laki-laki tadi semakin asik mengajaknya mengobrol seputar kerjaannya dan bertanya berapa penghasilannya hari ini. Nanang pun seperti tersihir, Nanang melakukan apa pun yang dikatakan laki-laki itu. Hingga tanpa sadar, Nanang mengeluarkan uang jerih payahnya mendorong gerobak hari ini. Laki-laki tadi menerima dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Nanang hanya mengangguk. Laki-laki tadi berlalu dari hadapan Nanang. Setelah sepuluh menit, Nanang baru tersadar. Kenapa ia masih berada di sini? Apa yang terjadi? Ia coba mengingat-ingat kejadian. Ia terkejut dan segera memeriksa kantong celananya. Nanang lemas. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya kehilangan tenaga. Ia mencoba berlari mengejar laki-laki berkacamata tadi dengan sisa-sisa kekuatannya, namun tak juga ketemu. Ia melangkah dengan gontai. Semua lamunannya perlahan mulai masuk ke pikirannya. Harapan indah, ingin memberikan hadiah kecil untuk istrinya sebagai hadiah ulang tahun perkawainannya pupus. Ia tak mampu bersuara, apalagi berkata-kata. Beberapa pedagang yang mengenalnya menegurnya. Ia tak menoleh, apalagi menjawab pertanyaan tersebut. Pikirannya kini diliputi kekecewaan karena dirinya teledor sehingga ia tidak bisa membelikan sesuatu untuk istrinya. Nanang tak ingin berlama-lama berada di pasar. Ia ingin segera pulang. Terbayang wajah sedih istrinya, seharian bekerja namun tak membawa hasil apa-apa. Ia ambil sepedanya. Ia kayuh dengan malas. Bayang-bayang kekecewaan terus mendera alam pikirannya. Tak terasa, air matanya mengalir. Sungguh hari ini, ia ingin memberikan sedikit senyum kepada istrinya. Sudah sepuluh tahun berumah tangga, namun tak banyak yang ia bisa berikan kepada istrinya. Pikirannya semakin menerawang. Ketika hendak berbelok, Nanang tak melihat mobil yang keluar dari kanan jalan. Mobil itu melaju cukup kencang. Nanang terpental. Ia pingsan. Orang ramai berkerumun. Tubuh Nanang diangkut ke dalam mobil yang menabraknya. Membawa ke Rumah Sakit Islam Samarinda. Perawat langsung mengecek kondisi Nanang. Secara fisik Nanang tidak terlalu parah, hanya beberapa bagian tubuhnya lecet karena bergesekan dengan aspal. Namun, Nanang harus dirawat inap karena kondisi tubuhnya lemah. Nanang pingsan selama satu jam. Ketika ia terbangun, di sebelah kanannya istrinya tersenyum. Nanang berusah bangkit, tetapi segera dicegah oleh istrinya. “Istirahatlah, abang perlu istirahat. Nanti kalau sudah kuat, baru deh abang boleh duduk.” Kepala Nanang dielus dengan tangan kanannya dan tangan kirinya memegang tangan kiri nanang yang terbujur lemas di ranjang rumah sakit. “Maafkan abang karena tidak bisa memberikan hadiah terbaik untuk ulang tahun pernikahan kita.” Nanang berkata lirih. “Abang sehat dan selalu tersenyum setiap saat sudah cukup menjadi kado pernikahan kita. Jadi, abang cepat sembuh ya.” ****
silahkan tempatkan kode iklan, banner atau teks disini