Minggu, 30 Mei 2010

Bidadariku, Akankah Kau ingat lagi, meski diriku tak bersamamu lagi.

Ku mulai menulis dengan nama Allah agar tulisan ini mengalir dari hatiku bukan karena keinginan nafsu belaka. Semoga hatiku dan hatimu terlepas dari rasa untuk menyalahkan Allah atas semua yang terjadi di antara kita. Maha Suci Allah dari pada keburukan perangai hambanya.
Suara Hati berirama memandang Sang Pencipta, memohon sebuah petunjuk-Nya yang memberikan kelapangan di dada tanpa amarah. Berkelebat kesunyian memenuhi ruang-ruang sepiku selama kurang lebih 30 hari yang ditentukan. Ku cari petunjuk dari lamunan dan doaku. Ku cari pula senyum-senyum kekasih-Nya yang membimbingku menghadapkan hatiku dan wajahku dalam pancaran kasih sayang-Nya.
Kuhindarkan diriku dari keinginan-keinginan yang membelenggu jiwaku. Keresahan demi keresahan ku rasakan. Langit menekanku dengan kuasanya, bumi menggoyangkan pijakanku, badai menerbangkan jiwaku yang entah harus berpegang pada siapa. Namun hatiku ku biarkan untuk menelusuri hingga hari yang ditentukan. Ketika hari itu tiba, keresahan itu semakin menjadi, ingin ku katakan segera, namun lidahku kelu untuk mengatakannya. Menjadi seorang yang bertanggung jawab, namun kepekaanku menahannya untuk berkata. Lukaku kini terlihat. Perangaiku kini terkelupas dari kulit yang membungkusnya dengan rapi.
Seorang perempuan yang memberi pesonanya pada hatiku. Entah mengapa ketika bibirku berucap dengan nama-Nya begitu mengaguminya, namun saat kehendak-Nya mempertemukan hambanya yang lemah hatinya ini, Kuasa-Nya membalikkan hatiku darinya.
Hari ini, ku tulis catatan kecil ini, sebagai jawaban dari pertanyaan orang yang sangat menyayangiku. Sebuah jawaban yang enggan ku tulis dalam untaian kata, namun diriku pun tak kuasa membiarkan dirinya dalam penantian yang panjang. Sesungguhnya ingin ku biarkan deru-deru hatiku beterbangan memenuhi alam raya dan melayang ke pangkuannya tanpa serpihan kata-kata yang terbaca semesta.
Kehendak diriku, ingin memaksa hati ini untuk memenuhi harapan hatinya. Hari demi hari kupaksa diriku lebih keras, namun semakin keras ku paksa hatiku mengingatkan diriku yang lemah ini kepada sebuah ketidaktulusan. Ku hentikan sejenak, ku biarkan hatiku beristirahat dalam senyum sang mentari di kala pagi, dan tertidur pulas dalam pangkuan sang malam. Namun hari yang ditentukan, terus mengusik hatiku, bercanda, dan memperolok-olok diriku yang tak punya keberanian. Ingin ku sampaikan suara hatiku ketika itu, namun hatiku saat itu sedang berperang menghadapi sebuah pilihan.
Diriku yakin, sebenarnya ia siap menerima apa pun. Tapi menjadi penentu dalam pengambilan keputusan menjadi dilema yang besar. Sebuah keputusan pasti menimbulkan dua tanggapan yang berbeda. Ia menyerahkan sepenuhnya pada diriku, namun diriku berharap dia yang memberikan putusan. Diriku yang berbuat, lantas mengapa diriku juga yang harus menjadi hakim. Hakim yang menentukan hati seseorang. Tak layak diriku menjadi hakim yang menjatuhkan putusan kepada orang lain, sementara diriku yang berbuat yang menjadi awal sebuah perkara.
Ku bersihkan diriku dalam basuhan suci, lalu ku tengadahkan wajahku ke wajah-Nya Yang Agung. Ku serahkan keputusan ini pada-Nya yang disuarakan melalui hatiku yang sering lupa pada-Nya. Ku jawab dengan lirih pertanyaan itu dengan kalimat-kalimat hatiku yang penuh cela, “Aku menyayangimu, namun aku tak ingin membiarkan ketidaktulusan dalam hatiku. Bukan karena kekuranganmu, tapi karena buruknya perangaiku. Maafkan diriku dunia dan akhirat. Besar harapan hatiku untuk memohon keridhoan dari hatimu yang terluka karena diriku. Bidadariku, Akankah kau ingat lagi diriku! meski diriku tak bersama dirimu. “
silahkan tempatkan kode iklan, banner atau teks disini