ketika mata harus berkata,
Apa yang ingin kau katakan tentangku?
Kau boleh remuk redam, mungkin juga angkuh.
Sedikit khayalku, kau mau menerima sedikit nuraniku
Dulu, kau ku bungkam.
Agar suara tak pernah berani berdendang.
Jangan marah!
Itu ku lakukan agar aku tetap tegak berdiri.
Aku adalah warna
Yang menyeruak pada cahaya
Aku adalah gulita
Yang membekap sisa-sisa asa
Aku angkuh dalam naung-Mu
naung-Mu, sudah ku cari. Ku biarkan diri lebur, hancur.
Sehingga tinggal angkuh-Mu.
Minggu, 26 Juli 2015
Hafiz Al-Qur'an, Perlu atau Tidak?
Mari kita berbicara tentang mimpi atau impian!
Setiap mimpi mengalir begitu saja dalam tidur panjang. Namun, mimpi yang menjadi kenyataan disebut impian. Mimpi adalah sesuatu yang terlihat atau dialami dalam tidur. Mimpi juga berarti angan-angan. Impian berasal dari kata dasar impi dan mendapat akhiran -an. Kata impi berarti mengharapkan dengan sangat atau mengidamkan. Sementara itu, impian berarti barang atau sesuatu yang sangat diinginkan. Oleh karena itu, istilah yang cocok digunakan adalah impian. Namun, jika kawan-kawan suka dengan istilah mimpi, ya boleh-boleh saja. Tidak ada yang dapat memprotes setiap keputusan yang kita ambil. Untuk itu, izinkan saya untuk menggunakan istilah IMPIAN.
Ekspektasi dari sebuah tulisan tentang impian adalah mempercepat terkabulnya impian. Mengapa? Karena banyak yang membaca atau melihat impian yang kita tuliskan, semakin banyak orang yang berdoa agar kita berhasil mencapainya. Saat ini, saya ingin memberikan kabar kepada dunia, bahwa aku berniat hari ini untuk menjadi penghafal Al-Qur'an.
Menjadi seorang penghafal Al-Quran sudah lama menjadi keinginan. Ketika saya SMA, saya sudah berusaha menghafal. Namun, godaan untuk menghafal sangatlah besar. Secara logis, setan tentu tidak mau kita menjadi penghafal Al-Quran. Berbagai upaya tentu dilakukan setan untuk menggoda kita melakukan hal lain sehingga kita lupa pada niatan untuk menghafal Al-Quran.
Namun, tidaklah pantas jika kita menyalahkan setan sebagai upaya yang menghalangi kita menjadi seorang penghafal Al-Quran. Sudah menjadi tugas setan agar menggoda kita. Hal itu sudah menjadi garis takdirnya. Sementara, impian untuk menjadi penghafal Al-Quran perlu atau tidak? Hal itu bergantung pada kesungguhan niat dan keikhlasan kita, serta apa tujuan kita menjadi penghafal Al-Quran. Seseorang yang hafal Al-Quran tentu tidak ada yang berani meng-claim bahwa dirinya akan masuk surga dan diterima pahalanya. Hak itu mutlak milik Allah SWT.
Ku niatkan menghafal Al-Quran karena itu perintah Maharaja Semesta Alam Allah SWT.
Ku niatkan menghafal Al-Quran sebagai bukti kecintaanku kepada pembawa risalah Baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Ku niatkan menghafal Al-Quran karena setiap penghafal Al-Quran yang ikhlas dapat memberi syafaat kepada kedua orang tuanya sehingga ini menjadi jalan bagiku untuk berbakti kepada kedua orang tuaku.
Ku niatkan menghafal Al-Quran sebagai sedekah kepada seluruh makhluk Allah di alam semesta dari awal kejadian hingga akhir zaman.
Ku niatkan menghafal Al-Quran untuk menjaga Kalam Allah dalam hatiku, karena neraka tidak akan membakar setiap hati yang dihiasi dengan Al-Quran.
Ku niatkan menghafal Al-Quran untuk sedekah kepada umat Rasullullah SAW hingga akhir zaman, karena setiap huruf dari Al-Quran bernilai sedekah.
Ku niatkan menghafal Al-Quran untuk meminang bidadari di dunia dan akhirat.
Ku niatkan menghafal Al-Quran sebagaimana niatnya orang-orang soleh, para wali Allah, para ulama yang ikhlas, dari orang-orang yang sezaman dengan Rasulullah SAW hingga akhir zaman.
Aamiin. Aamin. Aamin. Allahumma Aamin.
Seperti lazimnya etika menulis impian, maka ada ketentuan waktu pencapaian. Untuk itu, Ku niatkan menghafal Al-Quran paling lama dua tahun dari sekarang.
Saya Rizal Effendy Panga berniat untuk menjadi Hafidz Al-Quran.
Ku mulai menghafal Al-Quran tanggal 26 Juli 2015
Ku akhiri dan ku sempurnakan hafalan Al-Quran tanggal 26 Juli 2017.
Semoga Allah mengabulkan dan memberikan pertolongan dan petunjuknya dalam menjalani hari-hariku bersama Al-Quran. Aamin.
Samarinda, 26 Juli 2015.
Rezeki, Jodoh, dan Mati
Rezeki. Jodoh. Mati.
Itu
semua rahasia. Rahasia yang harusnya kita tahu bahwa semua itu dijamin. Jaminan
yang jujur dan berintegritas tinggi. Janji yang dibuat Sang Pencipta untuk
hambanya. Lalu, kegelisahan seperti apa yang menggerogoti setiap pecinta uang,
ketika uang tak kunjung tiba. Kekhawatiran seperti apa yang berhalusinasi dalam
pemikiran setiap pencinta lawan jenisnya, ketika laki-laki atau perempuan tak
kunjung dekat. Keangkuhan seperti apa yang menenangkan, ketika maut sudah
mengitari tanpa suara.
Kadang
kita tidak sadar bahwa rezeki terbesar adalah kedamaian bersama-Nya.
Kadang
kita tidak sadar bahwa jodoh terbesar adalah menjadi pemuja-Nya.
Kadang
kita tidak sadar bahwa mati terbesar adalah ketika lupa kepada-Nya.
Sebagai
seorang dalam kondisi tua menurut kebanyakan orang untuk menikah, kadang rezeki
belum mendekat, sementara kematian sudah mulai menyapa. Sudah berulang kali
rasa panas dingin campur aduk untuk membenamkan logika dalam sarang-sarang
gelap.
Usiaku
30 tahun lebih. Belum menikah. Rezeki juga masih sempit. Umur? Aku sama sekali
tidak tahu. Kebanyakan orang-orang di sekitarku, sedikit berkomentar. Mungkin juga
mereka gerah. Mudah-mudahan tidak jengah dan memandangku dengan pandangan
sebelah mata. Seandainya demikian, ya, itu memang sudah menjadi garis takdirku.
Namun, peperangan dalam batinku tak dapat ku elakkan. Aku juga sadar bahwa ini
tidak hanya terjadi kepadaku. Banyak orang yang mengalami. Pertanyaannya? Apakah
hidup ini kejam? Mungkin tidak juga. Karena kekejaman hanyalah soal rasa. Sementara,
rasa itu hanya sebagian dari unsur manusia yang terdiri atas Logika, rasa, dan nafsu.
Logika menuntunku untuk memahami setiap peristiwa. Rasa menuntunku untuk
mempertimbangkan setiap langkah. Nafsu, tentu saja membimbingku untuk
bersemangat. Harapanku, seluruh unsur itu menuntunku untuk menghambakan diri
pada-Nya. Itu semua ku lakukan karena aku menjalankan perintah-Nya.
Tariklah
nafasmu, lalu tahanlah semampumu. Dan rasakan bahwa tanpa rezeki Tuhan-Mu
kehidupanmu akan binasa.
Ingat-ingatlah
orang-orang yang pernah dekat denganmu. Lalu, lihat perbuatannya. Seandainya mereka
sudah bersamamu kini, apakah menjamin hidupmu bahagia. Yakinkah dirimu, bahwa
Tuhan telah mempersiapkan seseorang yang sesuai untukmu menurut-Nya dan
diberikan pada waktu yang tepat pula.
Datanglah
ke kuburan! Coba hitung berapa jumlahnya! Berapa lama mereka berada di sana? Adakah
yang berada di dalam kubur lebih lama dari umurnya.
Guru
saya pernah berkata, Setiap fase kehidupan cenderung memiliki masa yang lebih
panjang. Coba hitung berapa usia sperma setelah dipancarkan? Coba hitung masa
kehidupan dalam kandungan? Coba hitung masa kehidupan di dunia? Coba hitung
masa kehidupan dalam kubur? Coba hitung kehidupan di padang mahsyar, mizan,
sirath, dan surga atau neraka?
==FASE==
10 tahun pertama,
Ketika matahari
mengerlip manja
Sapa sambut mengiring
tangis, berkelakar.
Mungkin ada tawa,
Atau diam terpaku di
sudut kaku.
Seberkas senyum menggema
mengiring azan.
Tangisku, tak berakhir
duka.
Wajah-wajah menggambar
samudera suka.
10
tahun kedua,
Kenakalan
mulai merayu..
Keberanian mulai meragu.
Kebenaran
mulai melayu.
Kesakitan
mulai mendayu.
Kesedihan
mulai mengharu.
Kelalaian
mulai mengadu.
Pesona-pesona
merayu, meragu, melayu, mendayu, mengharu, dan mengadu.
Alam
sudah mulai tercabik menahan kebebasan. Semua hanya semu.
10 tahun ketiga,
Hiruk pikuk waktu sudah
mengganggu.
Pemburu mulai menyaru,
dendam.
Benci. Terlanjur jatuh
cinta.
Mungkin dia “iri dengki”
karena waktu sedang enggan.
Sudah terlanjur
berwaktu, sedangkan pesona kabur menebar.
Pikir dan rasa
bergandengan.
Sesekali terlepas,
mungkin ingat, mungkin tidak.
Sudah berumur, katanya.
Tapi, kau lirik dengan
malu.
Bibir terangkat, dahi
tertekuk.
Sudah lupa atau pura-pura
lupa?
10
tahun keempat,
Aku tidak tahu karena aku belum tahu.
Tapi
aku ingin tahu, seperti mauku.
Namun,
mauku tak seperti mau-Mu.
Mungkin
hanya mau-Mu yang terjadi.
Namun,
Aku sedikit malu.
Tapi,
izinkan aku duduk dalam mau-MU.
Aku
belum tahu karena aku tidak tahu.
Samarinda, 26 Juli 2015
MOZAIK PERTAMA: BULAGI, PESONA LELUHUR
Leluhur
nusantara memiliki keterikatan dengan mitologi. Sebagai anak-anak nusantara,
mitologi menjadi bagian dari kehidupan dan sekaligus menunjukkan keksistensian
sebagai penerus kejayaan nusantara. Bapak Proklamator kita, Soekarno pernah
berkata, “Jangan melupakan sejarah.” Oleh karena itu, mitologi dan sejarah
leluhur dapat menuntun kita untuk mengenali para leluhur. Mitos dibelajarkan
melalui cerita atau kisah yang dilakukan secara turun-temurun. Kisah itu hadir
sebagai pengantar tidur atau nasihat dari para orang tua kepada anaknya. Kisah
tersebut didasarkan pada kenyataan dan pernah terjadi pada masa hidupnya para
leluhur atau hanya kisah yang dituturkan sebagai bentuk nasihat kepada
keturunannya.
Perjalanan
ke tanah leluhur menjadi kisah unik dan petualangan yang berbeda. Perjalanan ke
tanah leluhur, saya mulai tahun 2010 (Perjalanan Bulagi I). Bertolak dari
Samarinda sebagai tanah kelahiran menuju ke Bulagi, Pulau Peling, Banggai
Kepulauan, Sulawesi Tengah. Sementara, perjalanan kedua, saya lakukan tahun
2015 (Perjalanan Bulagi II), bertepatan dengan liburan puasa dan lebaran. Setiap
perjalanan akan memberikan cerita yang berbeda, meskipun menuju ke tempat yang
sama.
2010. Masa lalu yang tak terlulis
membutuhkan energi untuk mengingatnya. Perjalanan Bulagi I yang saya tulis saat
ini pun ditulis sembari mengingat peristiwa dan kisah-kisah yang meliputinya. Sebagai
perjalanan pertama, setiap jengkal adalah hal yang baru. Samarinda memberikan
pengantar dengan nuansa bahagia dan rasa penasaran mengenai tempat yang dituju.
Perjalanan ini dimulai dengan menumpang KM Kerinci milik PT PELNI. Pukul 4
Sore, KM Kerinci memulai perjalanan kami dari pelabuhan Semayang, Balikpapan,
Kalimantan Timur.
Kurang
lebih perjalanan dua jam, kami disuguhkan dengan keindahan sunset di tengah lautan. Sunset yang hadir tanpa terhalang,
memberikan pancaran kehangatannya sebelum kembali ke peraduannya. Semilir angin
laut berpadu dengan gelombang yang tenang merajut kehangatan dan keheningan di
tengah hiruk-pikuk penumpang kapal yang merindukan sanak kerabatnya. Saya
berdiri di buritan kapal dan memandang matahari. Matahari pun harus pulang
memenuhi ketentuan alam. Saya pun pulang untuk bertemu dengan tanah leluhur.
Perjalanan
laut ini ditempuh kurang lebih semalam. Pukul 4 dini hari, kapal mulai memasuki
teluk. Dari kejauhan lampu-lampu berpendar-pendar. Kerlip-kerlip lampu itu
menyatu dalam kelompoknya membentuk tapal kuda. Cahaya lampu dini hari dari
kanan hingga kiri dari bibir pantai dengan khas bertingkat ke setiap lembah
pengunungan yang membentengi Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sekitar pukul 5, kapal
mulai merapat di Pelabuhan Pantoloan. Dermaga yang panjang ke tengah laut
menyambut kami. Di pelabuhan, keramaian sudah terjadi. Hilir mudik orang-orang
dan beberapa laki-laki berseragam khas pelabuhan berjajar di dermaga menunggu
penumpang untuk dibawakan barang-barangnya. Saya berdiri di buritan kapal dan
membiarkan penumpang yang lain turun lebih dahulu. Itu saya lakukan karena
tidak ingin berdesak-desakan. Sederhana saja pemikiran saya waktu itu, yaitu
mencari keamanan dan keleluasan berjalan. Benar saja, begitu kapal dibuka.
Laki-laki berseragam tersebut langsung menyerbu seperti harimau kelaparan,
memburu setiap barang dan membawanya dengan cepat ke dermaga dan kembali lagi
dengan tujuan mendapatkan barang semakin banyak untuk dibawa. Hal itu tentu
sesuai dengan pendapatan yang diinginginkan. Semakin banyak barang, semakin
banyak rupiah yang didapat.
Belum
lama, terdengar keributan. Salah seorang penumpang dipukul di dermaga karena
berselisih paham dengan laki-laki berseragam tadi. Pemandangan yang membuatku
miris. Namun, itulah fenonema yang lumrah dan sering terjadi sehingga perlu
persiapan diri bagi siapa saja yang ingin menggunakan pelabuhan sebagai sarana
mudik lebaran agar memahami hukum alam pelabuhan-pelabuhan di nusantara ini. Sementara,
pada masa leluhur nusantara yang dikenal sebagai pelaut, tak pernah ada cerita
tentang kekerasan yang sering terjadi. Setiap tempat memiliki hukumnya sendiri,
baik di darat, di laut, maupun di udara. Itu yang dapat saya simpulkan.
Selang
beberapa waktu, saya turun dari kapal. Lagi-lagi, saya tidak dapat menghindar
dari laki-laki berseragam tersebut, dengan halus saya menolak untuk dibawakan
barang-barang kami. Namun, semangat pantang menyerah dari laki-laki berseragam
tersebut akhirnya mematahkan pertahanan kami. Mereka membantu membawakan barang
kami, tentu setelah bernegoisasi soal harga tercapai. Barang-barang kami
diantar menuju sebuah mobil dari pemilik agent rental mobil yang akan
mengantarkan kami menuju Kota Luwuk.
Pukul
9 pagi, kami mulai meninggalkan Kota Palu. Sepanjang jalan, Palu menghadirkan
keperkasaannya dengan gunung-gemunung yang menjulang. Perjalanan 30 menit dari
pusat kota, perjalanan kami mulai mendaki. Semakin lama, semakin tinggi dan
terjal. Kebun Kopi, itu nama daerah yang kami lalui. Perjalanan mendaki dan
jalan-jalan dipinggir-pinggir jurang terjal, mendaki, menurun, tikungan tajam,
serta pemandangan hamparan gunung dan lembah menjadi kesatuan panorama yang
membuat mata tak henti-hentinya memandang. Kurang lebih tiga jam, kami
mengitari pegunungan.
Setelah
melewati Kebun Kopi, kami disuguhkan daerah pesisir pantai dari parigi moutong
hingga kota Luwuk. Di kanan jalan, gunung yang tegap menjulang membentuk
tanjung-tanjung di setiap tikungan. Di kiri jalan, hamparan pohon kelapa dan
laut, yang dikenal dengan nama Teluk Tomini, menghiasi perjalanan dan mata yang
memandangnya. Indonesia memberikan kejutan-kejutan di setiap jengkal tanahnya.
Cerita tentang nusantara lampau memang tak pernah bohong, bahwa Nusantara
adalah sepotong surga yang diturunkan di bumi. Perjalanan dari Palu ke Luwuk
dituntaskan dengan perjalanan kurang lebih 18 Jam.
Tanah
leluhur, sudah terhampar. Sebuah pulau tampak gagah membentang di tengah laut. Pulau
Peling itu namanya. Saya mengucapkan salam kepada alam untuk membawaku serta ke
alam leluhur dan bersyukur kepada Allah telah memberikan kesempatan kepada saya
untuk mengunjungi tanah ini. Menurut sejarah, di pulau ini dulu terdapat
kerajaan bersaudara, yaitu Kerajaan Bulagi dan Kerajaan Buko. Sesudah itu,
lahir pula Kerajaan Banggai, yang juga merupakan sebuah pulau yang berdekatan. Tanah
leluhur ini dalam bahasa Banggai disebut lipubasal
yang berarti “Tanah Besar”.
Perjalanan
dari Luwuk ke Bulagi ditempuh dengan waktu tiga jam naik kapal motor dan satu
jam perjalanan darat dengan menggunakan truk sebagai angkutan masyarakat di
Pulau tersebut yang menghubungkan antardesa di pulau tersebut. Paman saya yang
juga kapten kapal yang kami tumpangi, mengatakan sambil berkelakar. Bagi
siapapun yang datang, apalagi pertama kali ke tanah ini diharuskan mencium
tanah. Entah apa maksudnya, tetapi itu menunjukkan hal-hal yang berkaitan
dengan cerita-cerita leluhur.
Setelah
sambutan dan temu kangen dengan keluarga, mulailah bertebaran tentang
kisah-kisah seputar Bulagi dan silsilah atau susur galur garis keturunan para
leluhur. Saya teringat akan ilmu yang diajarkan oleh para guru saya, yaitu
“Barang siapa mengenal diri, maka akan mengenal Tuhannya.” Ada yang menarik dari silsilah. Ilmu pun
diwajibkan memiliki silsilah hingga kepada para nabi sebagai utusan Tuhan di
bumi ini. Begitu juga dengan hadirnya manusia sebagai khalifah di bumi yang
bersilsilah sampai kepada Nabi Adam AS. Bahkan dalam ilmu pengetahuan, dikenal
ilmu yang khusus mempelajari tentang silsilah, seperti rabhitah, genealogy, dan
lain-lain.
Fenomena
silsilah secara turun-temurun, ada yang terjaga dan ada juga yang terputus. Dalam
istilah nusantara dikenal dengan marga
atau fam, sedangkan dalam bahasa
Inggris dikenal istilah family name.
Umumnya, susur galur atau silsilah terpelihara di lingkungan keluarga raja-raja
nusantara atau para penyebar agama, khususnya agama Islam. Khusus di Bulagi dan
sekitarnya, silsilah cenderung adalah nama klan atau keluarga yang merupakan
nama orang-orang terdahulu.
Secara
silsilah, susur galur saya di mulai dari Rizal Effendy Panga bin Rusman Panga
bin Kandola Panga bin Yaladani bin Panga bin Badoi bin Boboti bin Mobotikan bin
Doinomo bin Modoino bin Sobotik bin ……….. bin Nuh AS bin …… bin Adam AS. Informasi
silsilah tersebut pun pada akhirnya terkait dengan mitologi karena banyak nama
yang terputus. Jika ditinjau dari silsilah tersebut, saya keturunan keempat
dari kakek Panga. Dalam bahasa Banggai, Panga
memiliki arti cabang. Sebagian para tetua memberikan isyarat, tidak
mengherankan bahwa pam Panga mempunyai jumlah yang banyak. Saya menuliskan
hingga Kakek Sobotik, karena informasi yang saya dapatkan dari para orang tua
yang memiliki persamaan hingga mencapai nama tersebut. Saya pun menemukan
catatan silsilah yang lebih panjang, hingga berakhir di Adi Soko atau Aji Saka
yang merupakan pendiri Kerajaan Banggai dalam fase Modern. Namun, secara ilmiah
hal tersebut belum dapat dibuktikan. Pencarian saya terhadap silsilah ini
menemui kebuntuan karena tidak ada catatan tertulis mengenai hal tersebut. Hal
itulah yang membuat saya menghentikan nama tertinggi hingga Kakek Sobotik.
Silsilah
dianggap sebagai sesuatu yang keramat atau suci sehingga tidak menjadi objek
yang dibicarakan secara sembarangan. Banyak hal-hal mitos yang bertebaran,
apabila membicarakan tentang silsilah. Penelusuran mengenai nama-nama tersebut,
juga didasarkan pada kepercayaan bahwa setiap pulau atau daerah diberi nama
sesuai dengan orang yang pertama berada di daerah tersebut atau peristiwa atau
kejadian tertentu. Bulagi, sebagai nama daerah, juga mengalami hal tersebut.
Bulagi dapat diasumsikan sebagai orang pertama atau pendiri Kerajaan Bulagi.
Selain itu, juga dapat dikaitkan dengan peristiwa atau mitologi ketika Raja
Mandapar berkunjung ke daerah bakiling (kering), maka timbul rasa hausnya. Raja
Mandapar pun menyuruh orang memerintahkan seseorang untuk memanjat kelapa. Tak
berapa lama, pemanjat tersebut berteriak. Sang raja berkata bula ‘apa’ dan pemanjat berkata som ‘semut’. Hal itu menjadi dasar
penyebutan bulagi sosom sebagai pengganti daerah yang bernama Bakiling. Sebagai
simpulan yang buntu, saya berkesimpulan bahwa mengetahui silsilah adalah
sebagai upaya untuk bersyukur karena hadirnya kita dalam dunia ini melalui para
leluhur yang memberikan restu dan doanya untuk anak keturunannya agar menjadi
pemelihara bumi dan mengambil manfaat yang digunakan untuk tujuan kebaikan.
Sebagai
wilayah kepulauan, Bulagi pun memberikan pesona alam yang tak kalah dengan
daerah lain. Perjalanan Bulagi I ini pun akhirnya membentuk satu lingkaran
perjalanan dengan mengendarai sepeda motor untuk mengelilingi pulau. Ungkapan
rasa terima kasih, saya berikan kepada Saudara saya Supardi Y. Zakaria, S.Pd.
yang merupakan suami dari saudara sepupu saya. Di Bulagi, saya dihadirkan
dengan keindahan laut dengan pulau tak berpenghuni dan togong (pulau karang)
kecil. Di Bulagi sendiri, terdapat tiga togong kecil. Dua togong saya tidak
tahu namanya, sedangkan satu togong bernama Babanggai. Dari cerita yang
beredar, di togong tersebut terdapat kuburan para leluhur. Di daerah kampung
baru, terdapat pantai, namun tidak begitu luas.
Bersama
dengan kakak, saya menelusuri Pulau Peling bagian selatan, yaitu kecamatan
Totikum dan Tinangkung. Setiap desa yang kami lalui memberikan pesona yang
berbeda. Pagar-pagar rumah yang terbuat dari kayu tersusun rapi. Setiap desa
punya warna sendiri. Beruntungnya, proyek jalan sudah masuk di pulau ini. Beberapa
jalan yang rusak sudah diperbaiki. Ketika sampai di Desa Patukuki, saya singgah
sebentar ke air terjun. Entah apa namanya. Yang pasti air terjun di Patukuki
ini mampu memberikan kegembiraan dan
membuatku terhenti untuk bermain-main dengan airnya. Air yang berwarna
kehijauan dan susunan batu-batu serta coraknya yang terbentuk melalui kikisan
air membuat betah untuk berlama-lama di sini. Tak banyak yang ke sini. Ada
beberapa warga usia remaja yang juga ikut mandi-mandi di air terjun tersebut.
Setelah
puas mandi-mandi, kami melanjutkan perjalanan ke Ambelang. Di daerah yang
tinggi dan jalan yang berliku, kami berhenti di puncaknya. Daerah ini dikenal
dengan nama Gunung Bebek. Entah mengapa dinamakan demikian. Padahal tidak ada
bebek satu pun di gunung tersebut. Kehidupan terasa kembali. Sinyal telepon
seluler pun muncul. Di Bulagi, tidak ada sinyal sehingga perlu perjalanan yang
jauh hanya sekadar mendapatkan sinyal. Selain kami, banyak warga yang singgah
dan bersantai sambil menghubungi sanak keluarga di daerah lain. Fenomena ini
tentu tidak dapat ditemukan di kota besar atau daerah yang sudah maju.
Tiba
di Ambelang, kami istirahat semalam. Pagi hari, kami melanjutkan perjalanan.
Jam 6 pagi kami berangkat melalui daerah Tobing, Totikum untuk melanjutkan
perjalanan. Misi utama saya adalah menjemput papa tua saya dari pulau yang
lain. Kami berburu waktu agar tidak ketinggalan kapal motor kecil yang disebut bodi oleh warga sekitar. Sesampainya di
pinggir laut daerah Totikum, kami menyeberang menggunakan bodi menuju pulau Banggai. Gelombang
laut yang tenang dan percikan air laut menemani kami sekitar satu jam.
Setibanya
di pulau Banggai, kami menuju ke tempat saudara. Tak jauh dari kantor pos. Sampai
di sana, saya menunggu papa tua saya. Sambil menunggu kedatangan papa tua saya,
kami keliling pulau Banggai yang merupakan pusat wilayah kerajaan masa silam.
Saya melewati istana Raja Banggai yang dikenal dengan istilah Tomundo yang berarti Raja. Mumpun di
Banggai, boleh kita cerita tentang raja-raja. Dari tuturan para tetua, Tomundo
dipilih oleh Basalo Sangkap (empat) yang ada di Banggai yang mewakili setiap
daerah. Sebelum bersatu, dulu daerah-daerah tersebut adalah kerajaan-kerajaan
yang kemudian dipersatukan. Oleh karena itu, Tomundo Banggai dipilih dari
keturunan dari basalo sangkap secara demokrasi. Kerajaan banggai dianggap
sebagai satu-satunya kerajaan yang menerapkan sistem demokrasi. Tentunya bukan
demokrasi barat karena pada masa itu orang-orang eropa belum masuk ke wilayah
nusantara. Sementara itu, di luar basalo sangkap terdapat basalo-basalo yang
mewakili setiap daerah yang berada dalam kawasan kerajaan Banggai. Basalo Bulagi
dianggap sebagai Basalo yang memiliki kedudukan istimewa dan dihormati oleh
Tomundo Banggai. Hal itu ditunjukkan dengan cara penghormatan yang berbeda
dengan basalo yang lain di hadapan tomundo.
Selain
Tomundo dan Basalo, dikenal pula Jogugu dan
Kapitan. Jogugu berfungsi sebagai pengatur
urusan kerajaan, sedangkan kapitan digunakan sebagai gelar bagi panglima
perang. Saya jadi teringant dengan pahlawan nasional Kapitan Pattimura. Dalam
era sekarang, kedudukan Tomundo dipegang oleh bupati, basalo dipegang oleh
camat, jogugu dan kapitan masih ada dalam perangkat adat. Dalam era sekarang,
Kerajaan dijadikan sebagai simbol pelestarian adat dan kebudayaan. Selain itu,
saya juga mendengar istilah pandalabing.
Menurut para tetua, pandalabing itu
adalah simbol pemegang keturunan. Saya berasumsi setelah mendengar kisah dari
para orang tua, pandalabing berperan
sebagai penasehat sebagai wujud dari orang-orang yang bijak yang merupakan
pemegang garis keturunan. Mengenai kebenarannya, saya pun tidak dapat
memberikan kesimpulan terkait dengan fungsi dan tugas dari gelar kebangsawanan
pada masa silam yang dijadikan sebagai gelar bagi perangkat adat di era
Kerajaan Adat Banggai, seperti lazimnya kerajaan adat lain di nusantara ini.
Banggai
pun meninggalkan cerita tentang perjuangan dengan dibangunnya Tugu Trikora
sebagai bukti pangkalan militer dalam misi pembebasan Irian Barat. Perjalanan
di pulau Banggai pun mengharuskan kami untuk menginap. Keesokan hari, kami
menyeberang ke Salakan, pusat pemerintahan Kabupaten Banggai Kepulauan, dengan
menumpang kapal feri bersama dengan papa tua saya. Sesampainya di Totikum, papa
tua pun diantar ke Bulagi oleh adik dari Kak Pardi. Setelah itu, kami berputar
arah untuk mengitari Pulau Peling Bagian Timur yang melibatkan wilayah
Kecamatan Totikum dan kecamatan Tinangkung. Suasana pedesaan khas dengan pagar
pun kami jumpai kembali. Jalan tersebut melalui pinggir-pinggir pantai. Berbagai
nama desa pun masuk dalam memori. Namun, saat ini hanya beberapa desa saja yang
saya ingat. Satu desa yang cukup bersih dan tatanan yang rapi yang sampai hari
ini saya ingat adalah Desa Abason. Sementara desa-desa yang lain banyak yang
lupa namanya. Perjalanan kami berakhir kembali di Ambelang. Perjalanan tersebut
dilalui dengan perjalanan dari pagi hingga sore hari. Akhirnya, perjalanan
tersebut saya tutup dengan beristirahat semalam di Ambelang.
Esok
hari dari Ambelang, saya pun menuju Bulagi kembali dengan rentang waktu kurang
lebih satu jam. Setibanya di Bulagi, beberapa paman saya melarang saya untuk
bepergian lagi. mereka khawatir karena saya baru pertama kali datang.
Lagi-lagi, takut keteguran dan lain-lain yang berkaitan dengan kisah-kisah para
leluhur. Saya pun menurut saja, lagi pula sudah cukup lelah. Sebagai daerah
pulau, tentu sangat mudah untuk mendapatkan menu-menu makanan yang bersumber
dari laut. Bahkan di perjalanan, saya sempat menawar ikan Layar berukuran satu
meter lebih. Namun, nelayan itu tidak menjualnya karena hendak dipupu atau
diasapi.
Nuansa
Bulagi dan silsilah menarik perhatian kembali. Saya lebih banyak mendengarkan
para tetua bercerita. Budaya lisan yang terjadi di masyarakat tentu sangat
sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Seiring waktu, cerita-cerita tersebut
tentu mengalami proses penambahan atau pengurangan berdasarkan daya ingat
penceritanya. Selain itu, orang-orang tua yang paham tentang cerita asalnya
sudah banyak yang meninggal. Yang saat ini masih dapat saya saksikan adalah
kubur dari kakek Kandola Panga dan Kakek Yaladani karena lokasinya dekat dengan
rumah keluarga. Sementara, kakek-kakek pendahulu tidak saya temukan. Menurut
informasi, kubur kakek Panga terdapat di daerah Kinali, perbatasan Desa Sosom.
Karena
bertepatan dengan lebaran, biasanya di Bulagi ada tradisi takbiran keliling
Desa. Start di Bulagi lalu melewati beberapa desa hingga ke desa Kamba,
kemudian balik arah ke Bulagi Utara kembali dan dilanjutkan melewati beberapa
desa menuju Desa Peling Seasa ke arah utara. Sebagai penggembira, saya pun ikut
dalam truk yang mengangkut warga untuk melaksanakan takbiran.
Keesokan
harinya, sholat ied. Karena masjid tidak dapat menampung jamaah, salat ied
dilaksanakan di lapangan bola dekat kantor kecamatan. Sore harinya, saya dan
paman saya menuju ke daerah montomisan untuk bertemu dengan guru Aman. Saya
memanggilnya tete (sebutan bagi kakek
dalam bahasa Banggai). Selain silaturahmi, lagi-lagi pembicaraan kami berkisar
pada silsilah. Saya berkeinginan ke daerah yang dianggap keramat, yaitu
Lipubasal atau tanah besar. Namun, paman saya tidak sanggup memenuhi karena
alasan tertentu. Tete Aman pun tidak menyanggupi permintaan saya. Akhirnya,
kami menuju ke Lalanday. Di desa tersebut, saya menemui paman saya yang masih
satu fam Panga. Paman saya tersebut adalah pemegang kunci Lipubasal. Lagi-lagi
harapan saya tidak dipenuhi karena alasan tertentu.
Di
Lalanday, terdapat mata air yang membentuk aliran sungai menuju ke laut. Sungai
itu dibendung dan dijadikan tempat pemandian yang selalu ramai dikunjungi,
khususnya pada saat lebaran. Di dalam sungai tersebut, terdapat ikan yang
dikeramatkan. Warnanya bercak-bercak hitam. Ikan itu tidak boleh dibunuh
apalagi dikonsumsi. Menurut cerita, ada orang yang coba-coba menangkap ikan
itu, kemudian dikonsumsi. Akhirnya, orang tersebut sakit dan meninggal tidak
lam setelah mengonsumsi ikan tersebut. Sampai hari ini, tidak ada yang berani
memakan ikan tersebut. Ikan itu adalah ikan air tawar yang hidup di Sungai atau
mata air di Lalanday tersebut dan tidak ada jenis ikan lain.
Sebagai
sebuah kisah, tentu tidak ada kisah yang selesai. Setiap waktu akan memberikan
kisah baru, meskipun pada tempat yang sama. Setiap sejarah perlu dipelajari
bukan untuk diagungkan, tetapi untuk menggali kebijaksanaan setiap zaman. Bulagi
sebagai tanah leluhur tentu punya persepsi berbeda bagi orang-orang yang lahir
di rantau orang dengan orang-orang yang lahir di tanah leluhur. Kecintaan dan
kerinduan, serta rasa ingin tahu menyeruak dalam liang-liang pemikiran untuk
mengeksploitasi kebijaksanaan dan kearifan lokal sebagai bukti dan esksitensi
kebudayaan, sekaligus menunjukkan eksistensi nusantara sebagai bangsa yang
memiliki peradaban yang tinggi.
Bersambung……..
Samarinda, 26 Juli 2015
Pencari Kebijaksanaan, Rizal Effendy Panga, Cucu Nusantara.
Langganan:
Postingan (Atom)