Sebuah alunan huruf kehidupan,
mengalir menyatu di sungai impian,
menyambangi muara samudra,
lebur bercampur gelapnya biru kembar.
Memutar arus masa lalu,
mengikat kekinian,
memenjarakan masa depan,
membentuk jalinan simfoni nada-nada hitam atau putih.
Jalan berliku menuju dua arah berlawanan,
kadang terjebak, kadang mujur.
Berbagai aroma terhampar, menyeruak ke dalam otak penggembala,
kadang tertahan, kadang malah dipaksa keluar.
Sajakku, sajak dunia,
tak ku temukan, sajak hatiku.
Sajak kenangan, bukan sajak bualan.
Sajak bukan sekadar coretan-coretan,
sajak kumpulan kegelisahan,
terbenam dalam bayangan.
Arti sajak, ya... aku hanya tau sajak itu diriku.
Diriku yang tak pernah punya kuasa.
Samarinda, 13 Maret 2011
Minggu, 13 Maret 2011
Kamis, 10 Maret 2011
Balada Bocah Asongan
Ringkih terbaring lesu.
Mentari menemanimu bersama hiruk pikuk kota.
Tak ada kata, apalagi suara.
Bumi menjadi kasur siang ini.
Sejenak,
angin hendak berhenti bertiup,
menyelimuti dua onggok tubuh bocah asongan,
berlomba mendengkur, getir terhempas gelombang dunia,
terpental dari peradaban, hilang.
Berjuta pasang mata di atas kuasa,
memandang, menatap sepi,
mencoba asa peduli, terbakar api cemburu.
Cemburu pada siang ini,
cemburu pada sore nanti,
cemburu pada malam sepi.
Lalu, lenyap bersama pekat malam.
Dua bocah asongan hanya menanti,
mengabarkan berita republik ini,
menerobos mimpi,
hanya bisa menyepi,
kemudian berkata:
Kami anak langit berbaju angin menatap mimpi-mimpi panjang matahari.
berlari kian kemari, menyentak bumi bersua arogansi itu.
Akankah kami punya arti?
Samarinda, 11 Maret 2011
Mentari menemanimu bersama hiruk pikuk kota.
Tak ada kata, apalagi suara.
Bumi menjadi kasur siang ini.
Sejenak,
angin hendak berhenti bertiup,
menyelimuti dua onggok tubuh bocah asongan,
berlomba mendengkur, getir terhempas gelombang dunia,
terpental dari peradaban, hilang.
Berjuta pasang mata di atas kuasa,
memandang, menatap sepi,
mencoba asa peduli, terbakar api cemburu.
Cemburu pada siang ini,
cemburu pada sore nanti,
cemburu pada malam sepi.
Lalu, lenyap bersama pekat malam.
Dua bocah asongan hanya menanti,
mengabarkan berita republik ini,
menerobos mimpi,
hanya bisa menyepi,
kemudian berkata:
Kami anak langit berbaju angin menatap mimpi-mimpi panjang matahari.
berlari kian kemari, menyentak bumi bersua arogansi itu.
Akankah kami punya arti?
Samarinda, 11 Maret 2011
Taring Kecil itu Tumbuh Perlahan
Taring kecil itu tumbuh perlahan,
mengoyak mimpi semu, membuka luka sang waktu
setiap sisinya saling bercumbu, meraung siap menerkam
bertanya lepaskan kerinduan desiran angin
angkara melepas tatapannya
mentari hanya diam
rembulan kembali ke peraduan, bersembunyi dibalik tirai tirani
bintang hanya membeku saling pandang
Taring kecil itu tumbuh perlahan,
bercengkerama malam, siang pun cemburu.
pelita maya berkejaran saling sikut, lalu berontak
mimpi terpental, nafsu melilit wajah beku
kunang-kunang kehilangan cahaya
sendi-sendi galau merobek benteng, membakar,
anyaman-anyaman kecewa merajut setiap jengkal.
Taring kecil itu tumbuh perlahan,
lalu meretas makna setiap hurup yang mengalir menjadi debu-debu sajak.
Samarinda, 6 Maret 2011
mengoyak mimpi semu, membuka luka sang waktu
setiap sisinya saling bercumbu, meraung siap menerkam
bertanya lepaskan kerinduan desiran angin
angkara melepas tatapannya
mentari hanya diam
rembulan kembali ke peraduan, bersembunyi dibalik tirai tirani
bintang hanya membeku saling pandang
Taring kecil itu tumbuh perlahan,
bercengkerama malam, siang pun cemburu.
pelita maya berkejaran saling sikut, lalu berontak
mimpi terpental, nafsu melilit wajah beku
kunang-kunang kehilangan cahaya
sendi-sendi galau merobek benteng, membakar,
anyaman-anyaman kecewa merajut setiap jengkal.
Taring kecil itu tumbuh perlahan,
lalu meretas makna setiap hurup yang mengalir menjadi debu-debu sajak.
Samarinda, 6 Maret 2011
Langganan:
Postingan (Atom)