Pelangi datang lagi.
Ada danau hati yang sedang keruh.
Bidadari mulai turun dari langit.
Kali ini, bidadari tak sendiri.
Bidadara pun dibawa serta.
Untuk apa?
Ada hati yang menguap.
Ada danau hati yang sedang keruh.
Pelangi datang lagi.
Warna-warni berbaris rapi.
Bidadari kembali ke langit.
Bidadara ditinggal sendiri.
Untuk apa?
Ada hati yang terbuai dalam sesak.
Senyum pun dititipkan.
Hati penuh terisi.
Bidadara pun bersemayam dalam buaian Sang Gadis.
Pelangi datang lagi.
Sudah waktunya keruh mulai larut.
Sudah masanya kegetiran pudar.
Sudah waktunya?
Sudah masanya?
Hati tak lagi sepi.
Ada Bidadara di Hati, yang bersemayam dengan nama-Nya.
Dedikasi:
Mba Vilda - Inhil, Riau.
Rabu, 19 Agustus 2015
Minggu, 09 Agustus 2015
Nomor Satu
Adikku juara lagi. Meski tidak jadi nomor satu. Kau tahu adikku, menjadi nomor satu adalah harapan banyak orang. Tetapi, nomor satu akan menyebabkan dirimu sendiri di ketinggian. Kadang, hanya kesepian yang kau dapat. Sementara itu, banyak orang ramai di bawah sana. Mereka asik bersenda gurau. Minum kopi sambil tertawa bebas. Kau akan sulit menemukannya di puncak. Nomor satu identik dengan sendiri, jadi biasakan dirimu untuk sendiri. Apabila kau tidak sanggup, mungkin kau harus berpura-pura, sehingga kau bisa turun ke peringkat bawah dan duduk duduk bersama mereka.
Adikku, ku harap kau akan mulai belajar memahami setiap kemenangan. Euforia kemenangan adalah kumpulan dari proses kegagalan, kesakitan, kegalauan, dan lain sebagainya yang terjalin erat dengan kesungguhan dan ketekunan untuk terus melangkah dalam mencapai tujuan. Ketika kau menang, kau pasti mengalahkan orang lain. bagaimana perasaan mereka? Tentu kau tahu rasanya. rasa sakit yang susah pudar, kecuali mereka yang punya tujuan kuat untuk menang.
Adakah salah jika kau menang? tentu tidak. tetapi, bisakah kau menang tanpa harus mengalahkan. Bisakah kau menang dengan membawa serta setiap orang orang yang ada di sekitarmu. Atau paling ekstrem adalah bersediakah kau mengalah agar orang orang di sekitarmu juga merasakan kemenangan. Kau pasti ingin melihat senyum mereka bukan? Senyum yang tidak kau dapatkan ketika kau menang dari mereka.
Adikku, sudah waktunya kau bergegas untuk mengubah mindset-mu tentang kemenangan. salam dari kakakmu yang berusaha memenangkan dirimu dihatiku.
Adikku, ku harap kau akan mulai belajar memahami setiap kemenangan. Euforia kemenangan adalah kumpulan dari proses kegagalan, kesakitan, kegalauan, dan lain sebagainya yang terjalin erat dengan kesungguhan dan ketekunan untuk terus melangkah dalam mencapai tujuan. Ketika kau menang, kau pasti mengalahkan orang lain. bagaimana perasaan mereka? Tentu kau tahu rasanya. rasa sakit yang susah pudar, kecuali mereka yang punya tujuan kuat untuk menang.
Adakah salah jika kau menang? tentu tidak. tetapi, bisakah kau menang tanpa harus mengalahkan. Bisakah kau menang dengan membawa serta setiap orang orang yang ada di sekitarmu. Atau paling ekstrem adalah bersediakah kau mengalah agar orang orang di sekitarmu juga merasakan kemenangan. Kau pasti ingin melihat senyum mereka bukan? Senyum yang tidak kau dapatkan ketika kau menang dari mereka.
Adikku, sudah waktunya kau bergegas untuk mengubah mindset-mu tentang kemenangan. salam dari kakakmu yang berusaha memenangkan dirimu dihatiku.
Jumat, 07 Agustus 2015
Puncak Tertinggi, Ku Tinggalkan Dirimu
Ku langkahkan kaki menuju puncak
tertinggi. Ku langkahkan kakiku untuk menapakkan hentakan-hentakan kakiku
secara perlahan. Ku tatap puncak tertinggi dengan agung. Sementara itu, puncak
itu mulai dipeluk awan. Setiap langkahku mengantarkan aku pada titik ini, titik
yang mampu ke jejakkan sebagai hamba untuk memandang ketinggian semu kepada
ketinggian agung. Dari titik tertinggi ini, aku menggelar seluruh tanda baca
dan setiap kata yang ku ingat dalam lembaran-lembaran awan putih yang ku
potong-potong. Tentunya, aku sudah melakukan ritual untuk permisi kepada sang
pemilik awan. Ku satukan gemuruh dalam dadaku. Ku satukan setiap kesatuan pikir
dalam hidupku. Ku raba titik tertinggi ini, lalu ku tatap tinggi yang ku raba
dengan hatiku. Lalu, ku agungkan Sang pemilik, kemudian ku tulis mereka dengan
kalam yang tiada terputus-putus.
Mentari malu-malu. Kawanan awan putih
memeluknya erat. Gunung-gemunung lagi tidur-tiduran berjemur di pinggir-pinggir
pantai kebiruan. Gelombang pun beradu lari laksana memperebutkan piala paling
bergengsi dalam alam semesta. Sementara itu, kekuasaan berpayung dalam
gedung-gedung tinggi. Menyeruak ke jalan-jalan protokol negeri ini.
Kadang-kadang beriring-iring seperti melepas serdadu yang hendak pergi
berperang. Setiap nafas ditahan. Jika ada yang berani bernafas, sudah pasti
didor atau diseret tanpa alasan. Mungkin kamar gelap sudah tidak ada, tetapi
kamar-kamar yang berlampu sudah disusupi aura kegelapan. Sehingga tak seorang
pun yang bersuara dapat bebas.
Kentut. Itu juga suara. Harus
diberangus. Harus dirajam. Harus disumpal sampai tak ada suara lagi.
Undang-undang sudah memerintahkan perangkat peradilan untuk menutup seluruh
sumber suara. Tak ada lagi suara yang boleh ngeluyur
tanpa didampingi perangkat peradilan. Suara pun harus tunduk pada mereka.
Jika perintah meluncur dari istana, barulah suara-suara itu boleh bebas
berkeliaran untuk menikmati keindahan negeri ini. Sudah mulai pupus.
Bumi sudah lama menahan suara-suara di
perutnya. Sedangkan matahari semakin liar memanaskan. Suara-suara itu memuai.
Khawatir akan meledak, bumi kadang-kadang mencari selangkangan gunung-gunung
untuk mengeluarkan larva. Iramanya pun berdendang ria. Gunung utara berdesis,
gunung selatan batuk-batuk. Sudah tak ada lagi yang dapat menahan suara itu.
Bahkan dedemit pun sudah lari
terbirit-birit. Rumah-rumah mereka sekarang dipenuhi kumpulan suara tertahan.
Menghimpit. Setan. Jin. Tuyul. Dan semua penghuni alam gaib sudah terdesak.
Raja Iblis pun ikut-ikutan protes. Kinerja pemerintahan negeri demit sudah
diusik. Raja iblis merasa ini adalah ekspansi besar-besaran. Ini eksodus. Ini
perlu dikendalikan. Jika tidak Gerombolan penghuni alam gaib akan kehilangan
kewenangan jati dirinya sebagai penghancur dan penggoda hati manusia. Mereka
khawatir, malah mereka yang digoda oleh manusia dan dijebloskan ke surga.
“Di mana lagi aku harus bersuara, semua
tempat sudah penuh. Suara kebaikan dan kentut pun sudah menyatu. Tak bisa
dibiarkan. Ini harus dicari solusinya. Kalau tidak, rakyatku akan binasa.”
“Tuanku, hal ini sungguh
mengkhawatirkan. Tuanku harus segera bertindak. Jika tidak, Kerajaan ini akan
terancam, Tuanku.”
“Kau tidak usah bicara banyak. Aku juga
memikirkan hal itu. Jangan sampai karena kau bersuara, rakyat kita kehabisan
tempat untuk melepas suara mereka untuk melaksanakan tugas Maharaja Yang
Dipertuan Agung, Azazil,”
“Baik, Tuanku.”
“Ya, sudah. Cari informasi untukku ke
negeri para manusia.”
“Siap menjalankan perintah, Tuanku.
Mohon undur diri.”
Gerah. Angin sudah enggan bertiup. Sudah
selesai ditekan-tekan. Sudah selesai dihimpit-himpit. Sudahlah. Tak ada lagi
yang tersisa. Semua sudah berniat untuk berkelana. Penguasa negeri ini masih
dapat memaksa angin-angin buatan untuk menyegarkan tubuhnya. Sedangkan, kentut
tidak diperkenankan hilir-mudik. Apalagi singgah melepas penatnya menggunakan
angin-angin buatan penguasa. Itu adalah pelanggaran. Kentut dilarang
beroperasi. Sebaiknya, penghasil kentut harus disumbat. Kemudian dibiarkan
menyebar ke aliran darah, meresap, menguap bersama keringat ke udara. Tanpa
suara.
Ayolah. Semua harus bersuara. jika tidak
suara akan dipenjara. Selamanya. Pikir-pikirlah dulu. Suara harus dibebaskan.
Demonstrasi perlu dilakukan kembali. Panji-panji perlu ditegakkan. Tak usah
pedulikan berapa jumlah masa. Bumi ini sudah penat. Itu sudah cukup sebagai
dasar pergerakan. Semangat sang api dapat kita ambil untuk meluluhlantakkan
kesombongan penguasa negeri ini. Dia sudah berani-beraninya mengebiri suara
sehingga menjadi tidak berdaya. Kalau kau tidak berani, biar aku yang memimpin
pergerakan ini.
Aku sandarkan tubuh kaku. Ku biarkan
suara tertahan dalam tubuhku, lepas melalui pori-pori dan ubun-ubunku. Hanya
itu yang bisa kulakukan. Seluruh lubang tubuhku tidak bisa ku gunakan lagi.
Bahkan, ujung kemaluanku terpaksa ku kunci rapat. Aku sadar, dulu ketika aku
buang air, kedua lubang kemaluanku selalu berbunyi. Aku khawatir, niatku untuk
membebaskan suara dapat terhalang akibat kesalahan kecil ini. Aku terpaksa
menyumbatnya rapat-rapat. Lalu, ku gunakan perekat paling kuat untuk
merapatkannya. Sebenarnya, aku masih ragu-ragu. Tapi ini tidak bisa ditunda
lagi. cukup lelahku menahan keperihan untuk membebaskan suara-suara melalui
pori-pori dan ubun-ubunku. Jika kau tidak percaya, coba saja kau lakukan. Kau
pasti tidak akan mampu. Suara harus ku bebaskan segera.
Senja datang lagi. Malam pun enggan berbicara.
Ada sedikit ketakutan. Malam sudah tidak mampu menutup hiruk pikuk manusia. Pikiran
bertebaran. Sudah ku putuskan. Ini bukan perkara suara saja. Tetapi sudah
menjadi keputusan global untuk menyelamatkan semesta dari kehancuran dan
keangkaramurkaan. Malam harus dikembalikan fungsinya. Siang harus diagungkan
kembali. Sudah tidak ada waktu lagi. Tetapi siapa yang peduli?
Lorong-lorong kota mulai tampak sepi di
tengah keramaian. Hilir mudik penduduk lesu. Nrimo ing pandum. Entah maknanya seperti apa. Tetapi pengertian
sudah diputarbalikkan. Siapa ikut penguasa, maka bebas kentut sembarangan.
Kentut yang sesuai dengan keinginan tentunya. Ah, sudahlah. Ini bukan waktunya
untuk berselisih pikir atau memikirkan perselisihan yang terjadi saat ini.
Aku bersimpuh di puncak derita. Ku
undang roh-roh leluhur. Ku panggil roh tujuh gunung, ku persilahkan ruh
samudera-samudera. Membaca mantera untuk memberikan kekuatan semesta pada
diriku yang kecil. Namun, aku tak mau bersekutu dengan Raja Iblis dan bala
tentaranya. Biarkan dia juga ikut-ikutan penat. Sudah terlalu lama juga, mereka
berbuat kerusakan. Merekalah yang bertanggung jawab, meskipun aku sadar mereka
saat ini juga terhimpit oleh perbuatan mereka sendiri. Yang pasti, kejahatan
mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan manusia yang sudah tertutup
hatinya dengan puing-puing keburukan. Setidaknya, mereka telah berhasil dan
harusnya berpesta-pora saat ini. Namun, kenyataannya mereka pun semakin
terpojok dan tersiksa. Aku tak akan melakukan transaksi dengan mereka. Karena
kepercayaanku kepada mereka belum pernah terjadi. Dan itu akan tetap seperti
itu. Jadi, setidaknya alam semesta ini yang ku panggil sebagai bala bantuan
untuk melakukan aksi protes kepada penguasa negeri ini, tentunya dengan cara
mereka.
“Hai, yang mengaku sebagai kebaikan yang
tersisa. Kau tidak akan bisa lakukan tugas berat ini sendirian. Izinkan aku
membantumu!”
“Pergilah! Aku tidak mengundangmu.”
“Bagaimana aku bisa pergi, sedangkan
tujuan kita adalah sama.”
“Ini akibat ulah kalian. Harusnya kalian
cukup senang, Mengapa kalian malah gelisah?”
“Ini di luar perhitungan kami. Kami tak
mengira, kalian lebih jahat daripada kami. Raja kami khawatir, kalau ini
dibiarkan tugas yang harusnya kami emban bisa-bisa akan diambil alih oleh para pendosa
dari kalangan kalian.”
“Cukup sudah basa-basimu. Kau pergi
saja. Aku tak percaya pada kalian. Kalau kalian mau protes, lakukan saja
sendiri. Aku sudah punya rencana sendiri.”
“Kau begitu sombong.”
“Sudah pantas aku sombong kepadamu tanpa
memandang rendah dirimu. Ternyata, bangsa kami lebih jahat darimu, lebih
sombong darimu, lebih angkuh darimu. Apa itu tidak membuatmu berpikir, bahwa
tanpa kalian goda saja kami sudah memiliki sifat penghancur. Apalagi kalian
mengambil peranan dalam memengaruhi kami untuk kalian jadikan teman-teman
kalian.”
“Kau benar. Aku akan sampaikan hal ini
pada raja kami.”
“Terserah padamu. Tetapi segeralah
pergi. Karena aku sedang bersiap-siap untuk menerima tamu-tamuku.”
Para tamu mulai berdatangan. Alam
semesta mengadakan rapat. Aku berada di tengah arus dan pusaran mereka. Mantera
mulai bertaburan. Satu persatu mantera alam semesta berkumandang. Halintar pun
tak kalah kencang. Aku memimpin mereka untuk menyatukan alam semesta.
Irama mantera semesta bergema. Gempa
menggetarkan. Tanah merobek-robek tubuhnya. Halilintar berdentum. Samudera
menggulung ombak. Angin berputar menyatu dengan gelombang. Semua yang tampak
diterjang. Istana pun tak ketinggalan. Semua diluluhlantakkan.
****
Kitab-kitab suci bertebaran di muka
bumi. Mencoba mengingatkan setiap pemikir untuk mulai bekerja. Alangkah merdu.
Namun, setiap pemikir mulai tidak lagi berpikir. Pemikiran sudah dikalahkan
gelak-gelak tawa. Sedikit bertasbih dengan hentak-hentakan musik. Apakah musik
dipersalahkan? Tidak. Musik tidak bernyawa. Musik hanyalah alunan. Musik sama
halnya dengan semesta. Sementara, mereka yang menjadikannya gelak tawa,
sehingga musik menjadi penghias pemikiran yang sudah tidak diisi dengan
pemikiran. Apa jadinya? Ya, semua terlihat begitu saja. Arus semesta mengalir
deras, menghantam sedikit demi sedikit peradaban. Keagungan peradaban sudah
mulai dicemarkan dengan ketinggian pangkat dan nafsu kekuasaaan.
Sudah saatnya, kitab suci mulai
dikedepankan. Akan tetapi, pergerakan itu banyak ditentang. Mereka bercerita
tentang mereka, tetapi tidak lupa untuk berpikir untuk membenamkan yang lain
dalam lumpur peradaban. Setidaknya, setiap berlian akan tetap menjadi berlian.
Keyakinan itulah yang mengunci peradaban pada dinamika pasang surut peradaban.
Kadang agung, kadang tanggung, malah banyak yang hancur begitu saja.
Penjarakan saja! Agar pemikiran tak
pernah berpikir. Daripada menciptakan ruang bebas berpendapat, sedangkan
pemikiran digiring dalam lingkaran kepentingan. Lingkaran yang menyebabkan
kitab suci menjadi mainan di panggung-panggung sebagai pembuka acara agar
terlihat beradab. Mungkinkah kitab suci hanyalah hiasan. Seperti bunga-bunga
plastik yang dipajang di vas bunga di atas meja ruang-ruang tamu. Bunga itu
indah, tapi sejatinya tak lebih dari kematian yang dihidupkan sebagai bentuk
pencitraan. Setidaknya, ada muncullah, daripada tidak digunakan sama sekali.
Sementara itu, hati gegap-gempita dengan
hingar-bingar pikiran-pikiran liar. Pencarian dari para petualang untuk
menemukan jati diri, tak terelakkan akan menemui kegagalan. Ya, kegagalan
sempurna yang tak diragukan. Semua pintu-pintu keberhasilan ditutup dan
disemukan. Keberhasilan yang di-setting.
“Mungkinkah pemikiran generasiku
dipenjara? Atau apakah itu sudah dilakukan sejak mereka dikandung oleh ibu-ibu
mereka?”
“Sudahlah. Kau tak perlu risau.
Kegalauan itu tak lagi menjadi tanggung jawabmu. Kau tahu, itu sudah dirampas
oleh mereka dan harus sesuai dengan mereka.”
Senja datang dan pergi. Fajar selalu
hadir menghapus kegelapan dan kepekatan sang malam. Ekspektasi bagi negeriku
adalah fajar selalu datang menyapa. Kepenatan negeri ini sudah saatnya untuk
dipasrahkan. Ya, kepasrahan kepada petunjuk kitab suci. Kitab suci yang
diagungkan oleh semesta. Yang menjaga keseimbangan antara tiga dunia. Mungkin
juga banyak dunia yang tak terbatas pada ruang-ruang pembatas. Pemikiran pun
hadir sebagai sebuah keterbatasan, kecuali pemikiran yang dikehendaki.
Pergerakan rembulan tak hanya malam.
Siang pun dipenuhi rembulan yang sembunyi malu-malu. Hal tersembunyi yang
disembunyikan atau sekadar menyembunyikan diri dari terang-benderang. Kurang
pikir kurang rasa, apa jadinya? Kesadaran akhirnya terbelenggu dengan manja.
Kesadaran tak lagi kuasa. Kesadaran hanyalah rasa yang dibuai-buai, lalu
perlahan ditenggelamkan dalam palung-palung terdalam nurani. Kemudian, secara
perlahan demi perlahan ditutup dengan keserakahan-keserakahan yang
terorganisasi. Sudah waktunya untuk sadar? Sementara hal itu sudah sukar untuk
disadarkan.
Kitab suci perlu turun tangan. Kalau perlu
turun kaki. Bahkan, jika diperlukan perlu turun kepala. Puncak yang dianggap
sebagai sumber pemikiran. Kepala sudah mau melihat ke bumi. Apakah sudah adil
atau tidak menjalankan amanat semesta atau sudah berbuat kesia-siaan belaka.
Kepala memang harus turun ke dasar telapak. Agar siap diinjak-injak untuk
mengetahui keperihan dan derita yang diakibatkan pola-pola liar yang dianggap
strategis, tetapi telapak kaki geram juga mencekam. Sudah mejadi keharusan,
kepala harus ditundukkan ke bumi untuk menghadap kitab suci. Agar keselamatan,
setiap kerikil, serta kehidupan kaum kecil yang bersembunyi dari
hentakan-hentakan telapak pemikiran. Setidaknya, kepala dihadapkan kepada
kehidupan nyata untuk berbuat sesuka hati mereka dan menyaksikan langsung
akibat dari perilakunya. Atau setidaknya, ada rasa belas kasih akibat
pengetahuannya mendengar keluh kesah kaum kecil yang tidak pernah diizinkan
untuk bersuara.
Rembulan mulai sunyi. Bintang bertabur
sepi. Akan ada pelangi. Jika hujan datang lagi. Dan sinar mentari rela diberi.
Itulah pelita hati insani. Yang terbelenggu dalam wujud hakiki. Mungkin ada
hati. Atau jemari mulai berlari. Dengan setia kepada para pemimpi. Bertujuan
untuk wujud setiap pikir sejati. Tetapi, sudah tak ada lagi. Tetapi, sudah lama
berlari. Tetapi, sudah tak ada mimpi. Tetapi sudah tak bersuara kini. Kepala
harus mau mencium bumi. Agar kepala menjadi ibu dari pikir dan rasa diri.
****
Anak kecil lari-lari menuju surau di
subuh hari. Panggilan bergema, sementara para tetua sedang sibuk menghias tidur
mereka dengan mimpi. Anak keci lari-lari menuju surau di subuh hari. Panggilan
bergema, sementara para ibu-ibu sedang asik memotong-motong sayur untuk sarapan
pagi hari. Anak kecil lari-lari menuju surau di subuh hari. Panggilan bergema,
sementara para kakak-kakak sedang asik bermain game dan online sampai
pagi.
Ketika yang dinamakan dosa tak pernah
mendekat. Alamlah pemeliharanya. Anak-anak kecil itu jenaka. Mereka tak ada
rasa angkara. Kadang menangis, jika tidak dimanja. Alamlah pemeliharanya.
Anak-anak itu ceria. Batu pun rela dijadikan mainan. Bahkan, ikhlas dilempar
dan akhirnya ditertawakan oleh mereka. Batu pun gembira karena sudah menjadi
sebab ceria. Alamlah pemeliharanya. Anak-anak kecil itu gembira. Fajar
mengiring mereka kepada Sang Pencipta. Ketika, semua burung mulai bernyanyi
riang. Ketika matahari menyentuhnya dengan sinar kemerahan. Ketika malam sudah
berpamitan untuk pulang. Adakah pembatas bagi mereka? Jawaban sederhana untuk
mereka adalah tidak. Kata sederhana yang susah diucapkan apabila godaan
kekuasan melanda. Ucapan sederhana yang sulit diungkapkan apabila gemerlap
semesta menyapa. Tapi, anak-anak kecil itu mampu untuk berkata, berucap, dan
menjawabnya secara sederhana.
Ketika tangisan adalah wakil dari semua
makna. Lembaran kehidupan masih terbentang tanpa batas. Hari berganti, lembaran
itu mulai ternoda. Perlahan tanpa suara. Senyap. Ku hirup sedikit rasa yang
tersisa dalam setiap desah nafas. Sesak. Ku hirup lagi. Makin sesak. Ku biarkan
diriku menyatu bersama aliran udara yang masuk. Ku izinkan diriku dilalui,
seperti awan yang mengizinkan dirinya dibawa oleh angin. Seperti gunung yang
tidak menahan magmanya yang sudah ingin keluar. Seperti air yang mengalir
mengikuti alurnya.
Sudah penuh, rasa yang ku inginkan hadir
dalam dadaku. Sudah penuh, ingin yang ku inginkan hadir dalam perjalananku.
Sudah penuh, ingin yang ku inginkan kembali dalam kehidupanku. Sudah penuh, ingin
yang ku inginkan tercerai dari jasadku. Sudah karam pemikiranku dalam
getar-getar semesta. Sudah ku taklukkan perampok-perampok dalam usiaku. Sudah
ku singkirkan kotor dan duka yang mencengkeram erat dalam setiap urat nadi dan
darahku. Sudah. Tapi, kesudahanku tak dapat ku akhiri atas kehendakku.
“Akankah semesta yang ku sakiti, percaya
padaku?”
“Mungkin.”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Ah…!”
“Akankah bumi pertiwi yang ku
eksploitasi, rela padaku?”
“Mungkin.”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Ah…!”
“Akankah langit yang ku jadikan tameng,
sudi menjagaku?”
“Mungkin.”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Ah…!”
“Akankah saudara-saudaraku, yang ku telantarkan,
sedikit diinjak kekuasaan, juga ditendang dan dipukuli panglima-panglima
keserakahan yang mengabdi padaku, sudah memaafkan diriku?”
“Mungkin.”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Ah…!”
“Akankah Sang Pemilik, membiarkan diriku
merasakan aroma ridho-Nya?”
“Aku tidak tahu”
Selimut putih semesta mulai menutupku
rapat. Mataku kini buta. Hidungku disumbat. Angin sudah enggan masuk ke dalam
hidungku. Sesekali mengejekku, masuk sebentar, lalu keluar dengan cepat. Aku
menahan gerakan semesta yang mulai mengalir dari diriku. Darahkan memperlambat
jalannya. Biasanya, aku memacunya untuk tantangan-tantangan ekstrim
kegemaranku. Itu hanya untuk menunjukkan siapa aku.Tubuhku menurunkan suhunya.
Aku hadir dalam keadaan sendiri. Dan ku mantapkan diriku dalam kesendirian di
akhir. Meskipun, banyak yang dilepas berurai air mata. Sedangkan aku ingin
dilepas dengan musik semesta. Sehingga ku asingkan diriku. Itu untuk menaruh
simpati semesta untuk hadir bersamaku. Harapan kecilku, tetabuhan sunyi
mengiringku dalam rangkaian persiapan perjalanan panjangku.
Ku sesali perbuatan-perbuatan nakalku.
Ku tangisi hal-hal baik yang sedikit ku kerjakan. Ku harap penyatuan sempurna
dengan sedikit karunia-Nya. Mungkinkah ku dapat? Aku takut. Tapi, harapku kini
ku hidupkan. Ku ajak berdamai. Ku ajak bernegoisasi. Aku sadar posisiku tidak
sedang dalam keadaan yang menguntungkan. Aku hanya berharap belas kasih.
Negoisasi dengan penuh kerendahan untuk diriku. Kehinaan demi kehinaan ku
tampakkan. Kelemahan demi kelemahan ku hadirkan. Kejelekan demi kejelekan ku hamparkan.
Sementara itu, kebaikankan yang sedikit ku buang ke dasar puncak tertinggi.
Menggelinding ke bumi pertiwi. Ku biarkan mengendap di bawah sana.
Sementara itu, kehinaan, kelemehan,
kejelekan, dan segala hal yang memiliki hubungan darah dan kekeluargan dengan
ketiga hal tersebut ku biarkan tetap di sisiku. Ku hamparkan, seperti menata
menu makanan pada pesta terakhir dalam kehidupan. Ku atur jaraknya. Ku jejer
sesuai kelasnya. Ku hitung-hitung mereka. Ku paksa mereka berbicara kepadaku.
Dulu oleh sebab mereka, aku berjaya. Lebih tepatnya, kejayaan semu yang ku raih
dengan segala kehinaanku. Semua ku hadapkan, ku mintakan pengampunan untuk
setiap mili, senti, bahkan kiloan. Jika ada satuan terbesar, yang belum pernah
ditemukan, keinginanku satuan itu hadir sebagai bobot dari kehinaanku.
Ku pasrahkan diriku. Lebur bersama
semesta. Aku pinta semesta untuk lenyap dariku satu persatu. Ku harapkan setiap
pelepasan itu diiringi karunia, sehingga mengantarku kepada pelepasan diri. Ku
hirup nafas yang mulai tersendat. Kali ini, aku meminta kepada angin untuk
membantuku lepas darinya secara perlahan. Tubuhku semakin kaku. Mati rasa sudah
terlewatkan. Kini tubuhku, tercabik-cabik. Ku nikmati saja. Ku pasrahkan
diriku. Persendianku tak mampu bertahan, lolos begitu saja. Kakimu ku lihat
berhenti bergerak. Semakin mengeras dan membatu. Semakin lama, pinggangku mulai
tersayat. Ku nikmati saja. Ku pasrahkan diriku. Tubuhku lunglai. Aku terjatuh,
terbaring di puncak tertinggi. Dadaku semakin sesak.
Ku pasrahkan diriku. Ku balikkan tubuhku
dengan kepayahan. Ku tatap puncak tertinggi yang tak bisa ku jejak. Karunia-Nya
mengizinkan diriku untuk menatapnya. Ku lantunkan penyesalanku. Ku lantunkan
harapku. Lantunan yang tak kunjung keluar dari mulut kakuku. Hatiku belum kaku.
Sedangkan tanganku sudah mulai tak menentu. Tanganku mulai ikut-ikutan
mematung. Ku sandarkan tubuhku pada puncak tertinggi yang mampu ku pijak,
sedangkan pandanganku mengarah pada puncak tertinggi yang ingin ku capai dalam
perjalananku berikutnya.
Ku pasrahkan diriku. Aku terkejut. Tapi,
karunia-Nya terus ku harap. Aku ingin menuju pintu-Nya dari puncak tertinggi.
Pengiringku sudah datang. Ku tatap dengan senyum. Dia masih garang. Karunia-Nya
ku harap. Aku dituntun. Ku nikmati saja. Segala kepayahanku semakin bersatu.
Berontak. Menguasai setiap pertempuran. Tubuh kakuku kalah. Ku biarkan kalah.
Ku pasrahkan diriku dengan nama-Nya. Puncak tertinggi memangilku. Ku pasrahkan
diriku. Puncak tertinggi, menatapku. Aku tertunduk malu, tapi hatiku berharap
karunia-Nya. Lalu, aku kaku, di puncak tertinggi. Semesta sudah ku tinggalkan.
Puncak tertinggi memanggilku. Ku pasrahkan diriku kepada puncak tertinggi yang
ku pandangi dari puncak tertinggi yang mampu ku pijak.
Samarinda, 7 Agustus
2015
Didedikasikan kepada para pencari Puncak Tertinggi.
Dan sebagai persembahan untuk adik-adikku pada komunitas Teater Bastra, Samarinda berupa Antologi Cerpen sebagai kado ulang tahun pada 21 Januari 2016.
Rabu, 05 Agustus 2015
Ku Tulis Sebuah Puisi
Ku tulis sebuah puisi,
Tentang aku dan dirimu.
Mentari malu-malu bersembunyi di balik senyuman.
Akankah semua bintang bertabur sepi,
sedang kau di sini menatapku sendiri.
Gelombang akan sirna diterpa senja kala.
Anganku, kini membeku.. takdirkan hidup yang semu.
Aku tlah sempurna bersama angin lalu
Ku cumbu dalam alunan kata
Terbuai dalam lamunan manja
Aku dan rasaku
Terbang bersama mimpimu.
Ku coba ungkap semua rasa
Gelora dalam tubuhku.
Untukmu kekasih hati
Yang dijanji.
Tentang aku dan dirimu.
Mentari malu-malu bersembunyi di balik senyuman.
Akankah semua bintang bertabur sepi,
sedang kau di sini menatapku sendiri.
Gelombang akan sirna diterpa senja kala.
Anganku, kini membeku.. takdirkan hidup yang semu.
Aku tlah sempurna bersama angin lalu
Ku cumbu dalam alunan kata
Terbuai dalam lamunan manja
Aku dan rasaku
Terbang bersama mimpimu.
Ku coba ungkap semua rasa
Gelora dalam tubuhku.
Untukmu kekasih hati
Yang dijanji.
Langganan:
Postingan (Atom)