Jumat, 11 Februari 2011

Durian Jatuh Bukan Karena Angin

“Lariiiiiiiiiiiiiiiiiii!”
Beberapa anak berlari dari kebun durian. Laki-laki separuh baya berteriak sambil mengacungkan parangnya ke arah gerombolan anak tadi. Ekspresi kelelahan tampak di wajahnya. Emosinya mengalir dari darah-darahnya menuju ke kepalanya. Wajahnya memerah. Keringatnya membasahi wajahnya yang mulai berkerut.
“Dasar pencuri nakal kalian, kalau dapat rasakan nanti,” gerutu Pak Jamil.
Ia pun melanjutkan pekerjaannya menunggu durian yang jatuh. Namun, tak jauh dari tempat itu. anak-anak itu masih bersembunyi di balik semak-semak. Berhati-hati mengintip, kalau-kalau mereka masih dikejar. Nafas mereka masih turun naik tak beraturan. Setelah memastikan sudah tidak ada yang mengejar, anak-anak itu pun berbaring di atas tanah dengan formasi yang semerawut. Bajunya basah oleh keringat. Sesekali helaan nafas lega dengan tarikan nafas yang dalam terdengar.
“Hampir saja ketahuan,” kata Andra
“Kalau tertangkap bisa gawat urusannya,” jawab Andri menimpali perkataan saudara tuanya.
“Untung saja kita tadi cepat berlari. Parang Pak Jamil yang putih mengkilat itu menyeramkan banget,” Andru pun tak mau kalah berkomentar.
“Iya. Padahal kita sudah mengumpulkan durian cukup banyak. Eh, sekarang kita harus merelakannya dibawa pulang Pak Jamil,” Andre menggerutu.
“Durian itu memang milik Pak Jamil. Kita yang salah Kak,” ujar Androida.
“Hussss! Kamu diam saja,” Jawab mereka berempat serempak.
Anak-anak ini adalah lima bersaudara kembar. Andra kakak tertua disusul Andri, Andru, Andre, dan Androida. Dari kelima bersaudara ini, hanya Androida yang perempuan. Kemana pun mereka pergi, Androida selalu dibawa. Usia mereka 11 tahun. Mereka duduk di kelas lima sekolah dasar. Sejak jam enam pagi kelima bersaudara ini sudah berangkat ke hutan di belakang rumah. Tepatnya berangkat menuju ke kebun durian Pak Jamil. Setiap musim durian, kebun Pak Jamil memang selalu menjadi incaran anak-anak di kampung ini. Durian di kebun Pak Jamil memang terkenal enak. Daging buahnya tebal. Wangi buahnya selalu mengundang selera untuk menyantapnya. Di mata anak-anak, Pak Jamil terkenal dengan kegalakannya. Apalagi kalau ada yang berani-berani mencuri buah duriannya. Pak Jamil akan mengejar dengan parangnya yang mengkilat. Melihat kilatannya saja, sudah membuat sendi-sendi yang melihatnya gemetaran.
Biasanya lima bersaudara ini, selalu bernasib bagus. Durian-durian yang enak tersebut selalu bisa disantap. Meskipun setiap hasil yang diperoleh tak pernah dibawa pulang ke rumah. Mereka sangat takut pada ayah. Ayah terkenal galak, jika anak-anaknya melakukan kesalahan. Apalagi melakukan kesalahan yang merugikan orang lain.
Ayah ingin anak-anaknya menjadi orang-orang yang bertanggung jawab. Walaupun galak, ayah terkenal dengan orang tua yang bijak. Kami berlima tak luput dari pengawasannya. Untuk hari ini saja, kami berlima harus meminta izin berjam-jam agar diizinkan bermain minggu pagi ini. Kami tidak mungkin mengatakan kepada beliau bahwa kami akan pergi ke kebun durian Pak Jamil untuk mencuri buah duriannya. Ayah bisa marah besar, jika beliau tahu. Oleh karena itu, kami selalu menggunakan adik kami sebagai alasan untuk pergi.
Ayah sangat menyayangi Androida. Segala keinginan dari putri semata wayangnya ini, pasti dikabulkan. Androida sebenarnya tidak ingin pergi bersama kami. Dia sudah ada janji dengan Sinta. Dia mau mengerjakan PR di rumah Sinta, teman sebangkunya di sekolah. Kami memaksanya. Terutama kakak pertama kami si Andra. Kak Andra yang mengusulkan kalau kami berlima besok harus mencari durian. Kalau hanya kami berempat pasti tidak akan mudah mendapatkan izin, jadi kami mengajak Androida agar kami dapat izin.
Namun, keberuntungan belum berpihak kepada kami. Sepuluh buah durian sudah kami kumpulkan di bawah pohon. Lagi asik menunggu dari jauh Pak Jamil sudah berteriak-teriak. Kontan saja, kami langsung berlari berhamburan. Untung saja kami, tidak tertangkap. Dari cerita teman-teman yang pernah mengambil buah durian di kebun Pak Jamil. Khususnya mereka yang tertangkap, pasti diikat dibawah pondoknya. Kemudian dibiarkan sampai sore ditinggal sendirian di hutan. Hukuman ini rata-rata membuat teman-teman kami jera. Apalagi ada cerita bahwa kebun Pak Jamil terkenal Angker.
Bayu, teman sekelas kami pernah tertangkap Pak Jamil. Bayu merengek-rengek, bahkan sampai kencing di celana agar dibuka ikatannya. Dia bercerita ada penunggunya di kebun tersebut. Awalnya kami ingin mengajak Bayu, tetapi dia tidak berani. Jadi kami nekat, sampai-sampai Androida pun kami paksa ikut.
“Merayap. Tunduk semua! Pak Jamil datang tuh,” kata Andre.
Kami semua layaknya tentara yang dapat perintah dari komandan langsung cepat mengatur barisan. Berbaris dibawah lindungan semak-semak. Semuanya tertunduk cemas. Langkah kaki Pak Jamil semakin terdengar lebih kencang. Nafas kami kembali tidak teratur. Detak jantung kami berdetak lebih kencang. Setiap langkah Pak Jamil membuat detakan jantung kami semakin cepat. Pucat. Seluruh persendian lemas. Tinggal lima langkah dari tempat kami tiarap. Pak Jamil berhenti. Kami semakin was-was. Androida menangis. Cepat-cepat kami tutup mulutnya agar tidak bersuara. Pak Jamil melangkah lagi. Berhenti lagi. Entah apa yang dilakukannya.
Dari balik semak-semak, kami hanya bisa melihat kakinya yang semakin mendekat ke arah kami. Pak Jamil semakin mendekat. Wajah kami memerah. Androida sudah mengalir air matanya dengan suara tertahan di tangan kami. Kami hanya pasrah. Pak Jamil terus melangkah. Berlalu dari persembunyian kami. Setiap langkahnya membuat kami semakin lega.
“Huuuuuuuuh, hampir saja,” jawab kami serempak.
“Hiks…hiks…hiks…. Kak kita pulang yuk. Ida takut kak. Pulang yuk,” akhirnya Androida bisa melepaskan suara tangisnya.
“Jangan dulu! Kita sudah jauh-jauh ke sini. Jadi kita harus bisa mencicipi durian enak itu,” kata Kak Andra layaknya memberikan perintah.
“Kak, Ida takut kak,” rengek Androida.
“Tenang aja, ada Kakak. Sudahlah nggak usah nangis lagi! Ayo semua ikut!” Tegas Andra.
Kami pun kembali ke kebun durian Pak Jamil. Kami menemukan 3 buah durian. Tanpa berpikir panjang kami langsung membelah durian tersebut. Menyantapnya penuh semangat. Tanpa memperhatikan sekeliling kami. Kami sudah terlanjur tergiur dengan buah durian tersebut. Bahkan Kak Andra, tadi malam mengigau sedang menikmati buah durian.
“Hmmmmmmmmmmmmmm! Mau lari kemana lagi kalian,” Suara agak berat itu bergema yang tidak lain milik dari Pak Jamil.
Kami tertangkap basah. Durian yang berada di mulut kami tiba-tiba hambar. Kami menurunkan tangan kami. Barang bukti masih terlihat. Mulut berlepotan dengan daging buah durian. Tak ada celah untuk lari. Androida malah sudah menangis sejak tadi. Pucat. Gemetar. Pak Jamil menceramahi kami. Setelah puas memarahi kami, yang menyebabkan air mata kami mengalir. Pak Jamil jadi tidak tega. Beliau mengajak kami masuk ke dalam pondoknya. Kami tak berani membantah. Di dalam pondoknya, Beliau membelah dua buah durian yang paling besar. Mempersilakan kami makan. “Anak-anak, perbuatan mencuri itu tidak baik. Alam akan memberikan sesuatu yang baik, jika kita mencari dengan cara yang baik. Jika kalian datang dengan baik-baik, Bapak pasti akan memberikannya untuk kalian. Nah, sekarang jangan malu-malu. Makanlah sepuasnya,” kata Pak Jamil.

Tidak ada komentar:

silahkan tempatkan kode iklan, banner atau teks disini