Minggu, 15 Maret 2009

Air

Air seperti emas
Bermanfaat jika digunakan
Bijak tanpa dilumuri keserakahan

Air seperti roda
Terus mengalir mengikuti arusnya
Menerjang dinding-dinding terjal
Menghancurkan batu-batu besar

Air seperti pedang bermata dua
Satu sisi memberikan manfaat
Sisi lain menghancurkan

Kamis, 12 Maret 2009

Korupsi

Korupsi…
Sebuah kata kontroversi bergeliat liar membelah keimanan
Apa yang kamu tahu.
Berhimpitan ego
Perut-perut berteriak
Lapar.....

Korupsi karena apa?
Tanda tangan menjarah laci-laci
Tertawa lalu terdiam sejenak
Tertawa lagi...terdiam
Akhirnya menangis.

Menangis di balik bui, atau
Mengais-ngais menangis
Ketakutan cemas luluh tak berani
Menatap dunia

Santri Malam

“Huh....dingin banget malam ini." gerutuku. Hujan gerimis dan hembusan angin membuat tubuhku menggigil. Jalan terlihat lengang. Jam tanganku menunjukkan angka 8. Meskipun dingin, hal ini tak menurunkan semangatku dan Sigit. Ia temanku sejak SMA. Aku memacu sepeda motor yang selalu setia menemaniku, menembus gelapnya malam. Bibirku mulai bergoyang menahan dinginnya malam ini. Tangan nyeri, tapi aku tak peduli. Aku terus memacu kendaraan ini lebih kencang. Aku ingin segera sampai di tujuan.
Setiap malam rabu, Aku punya kegiatan rutin. Seperti malam ini, aku dan Sigit berkunjung ke Pondok Pesantren untuk mengaji. Pondok Pesantren Nahjatul Ula. Pondok ini agak jauh dari pusat kota. Letaknya sekitar 10 kilometer dari rumahku. Sepi, tenang, damai menyelimuti hatiku, ketika aku berada di pondok ini. Sehari saja, Aku melewatkannya, pasti kegelisahan berdemo tanpa kendali mengisi ruang imajinasiku yang kosong. Aku mencintai tempat ini. Aku menangis, merenungi kesalahan-kesalahan, dan menenangkan gairah mudaku yang liar.
Tak hanya kami yang belajar di pondok ini. Anak-anak sampai usia sepuh pun belajar di pondok ini. Memahami agama bagiku, layaknya memahami kehidupan. Hari-hariku yang penuh liku-liku, terkadang menghancurkan benteng-benteng imanku yang rapuh. Banyak persoalan kehidupan yang harus segera ku selesaikan, sementara persoalan-persoalan lain siap menghadang jalanku.
Kadang-kadang aku tak kuat menghadapi beban hidup ini. Hanya tangisan yang bisa ku lakukan. Menangis dan terus menangis. Meluapkan semua beban yang berada dalam pikiranku. Ketakutan-ketakutan selalu menghantuiku. Memberikan rasa gelisah yang kian bertambah. Aku ingin berteriak, tapi lidahku terasa kelu. Tak punya daya, tak punya kekuatan untuk katakan kepahitan yang terjadi. Aku tak cukup berani, untuk menjadi orang yang terkenal. Yah...terkenal dengan banyaknya masalah.
Aku terkadang cuek, tak peduli lingkungan sekitarku. Hal ini ku lakukan hanya untuk menutupi derita hatiku yang berkepanjangan. Aku hanya ingin dunia memperhatikanku, namun satu centimeter pun dunia enggan melihatku. Bahkan, dunia hanya melempar senyum sinisnya, kemudian berlalu dari hadapanku begitu saja. Membiarkan diriku terkulai lemas tanpa daya, menari bersama berbagai persoalan yang telah memenuhi ruang imajinasiku. Semakin ku pikirkan, kepalaku semakin bertambah pusing. Seakan-akan sejuta jarum menusuk-nusuk kepala mungilku.
Seberkas cahaya menyilaukan mataku diiringi bunyi yang cukup membuat telingaku pekak. “Awas, ada mobil!” pekik Sigit. Aku tersentak dan langsung menghindari mobil yang tak jauh dari hadapanku. Dadaku berdegup kencang. Aku memperlambat laju kendaraanku. Sigit mengoceh semaunya, tapi tak satu pun kata-katanya yang mampu menembus gendang telingaku. Aku tak menghiraukan ocehannya, ku lanjutkan pengembaraan menuju ruang-ruang imajinasiku yang sempat terputus.
Masalah demi masalah selalu menghantuiku. Masalah itu seakan-akan berkata mengejekku, “Hei, pecundang! Tetaplah seperti itu, merana putus harapan. Kami akan selalu menemanimu dan membuatmu semakin resah. Ha.ha.ha.ha.ha.ha.ha.ha. tetaplah jadi budakku, budak kegelisahan.” Hatiku gemetar, takut, cemas. Imajinasiku semakin liar, mengetuk berjuta-juta pintu membawaku melintasi cakrawala pikiran yang tak terkendali.
Aliran darahku bergejolak, memenuhi setiap pembuluh darah di otakku. Pintu-pintu itu terbuka satu persatu. Pintu itu menarik minatku untuk segera menjelajah ke dalam ruang-ruang labirinnya. Langkahku semakin cepat memburunya, bagaikan anak panah yang terlepas dari busur. Mencari, mencari, dan mencari. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang dariku.
Ku telusuri semua keresahan yang menemani hari-hariku. Berkelana mencari pusat magma keresahan itu. Aku melangkah lebih jauh memasuki pintu demi pintu. Gelap dan semakin gelap. Mataku tak melihat apapun. Aura keresahan semakin membakar tubuhku. Aku menggeliat, meraung tanpa suara. Ku biarkan, imajinasiku membelai setiap lekuk-lekuk hatiku. Terdiam lalu terpaku.
Ketegangan demi ketegangan menghampiriku, menyapaku sinis. Semakin dalam ku telusuri ruang-ruang hatiku. Semakin dalam pula jalan yang terbentang di hadapanku. Jalan ini seperti tak memiliki ujung. Kakiku lelah. Namun, ada sesuatu yang terus memberikan semangat untuk terus melangkah. Aku tak tahu apa yang ku cari, tetapi aku bersemangat untuk mendaki tebing-tebing terjal dan curam imajinasiku. Aku merasa ada ketenangan, ketika aku melangkah dan terus melangkah.
Ketenangan yang selama ini ku dambakan. Ketenangan yang menjadi penghibur, ketika tak satu pun lagu dapat menghiburku. Ketenangan yang sangat ku nantikan untuk menemani hari-hariku berkelana di dunia fana ini. Aku merindukannya. Langkah-langkah kecilku bergerak lebih cepat berlomba dengan sang waktu. Pintu demi pintu ku buka. Ku jelajahi jalan-jalan panjang. Ketemu pintu lagi, ku buka lagi, lalu ku jelajahi lagi. Aku terus melangkah berkelana tanpa ada garis finish.
Perjalanan ini, membuatku merasakan semua pernak-pernik kehidupan. Perkelahian dua hal yang bertentangan tampak jelas melintas begitu saja tanpa permisi. Sisi gelap dan terang mulai merayuku. Kadang-kadang aku tertarik dengan bujuk rayu kegelapan yang penuh misteri. Kadang-kadang aku tersadar bahwa gelap tak bisa memberiku sebuah kepastian, bahkan membawaku semakin tersesat jauh dari tujuanku.
Cahaya redup selalu membuatku terpana, saat ia sepintas menyapaku dengan keramahannya. Hatiku damai. Aliran sungai ketenangan menghampiriku perlahan-lahan menyatu dengan aliran darah di sekujur tubuhku. Gerakan lembutnya membuatku terbang melayang melintasi cakrawala dunia yang tak mampu ditembus. Cahaya itu menerangi hatiku yang gelap. Walau saat ini, cahaya itu redup. Ia mampu membantuku untuk melihat ukiran-ukiran relief di dinding hatiku. Aku terpana melihatnya.
Dinding-dinding itu, seolah membentuk jalinan kisah kehidupanku sejak aku diciptakan. Aku pandangi satu persatu ukiran-ukiran itu. Aku gembira, aku melihat wajah ibuku yang cantik terukir sangat besar membelai rambut tipisku. Aku melihat senyumnya. Senyum kemenangan, yang selalu menemaniku. Guratan kebahagian karena telah melahirkan sosok mungil ini. Aliran darahku berhenti, tubuhku bergetar. Ku pandangi wajahnya. Ku lihat ia meneteskan air kemilau dari kedua matanya. Harapan-harapannya menghampiriku. Aku tak sanggup melihat buliran-buliran air matanya. Aku mengambil sebuah guci, ku letakkan di bawahnya. Ku lihat tetes air itu, masuk perlahan kedalam guci itu. Ku ingin berlalu, tapi hatiku tak mau beranjak pergi. Aku ambil tetes-tetes air itu, ku basuh setiap bagian anggota tubuhku.
Tetesan air itu semakin deras, aku hanya duduk bersimpuh dihadapannya. Tak kuat berdiri dan melangkah lagi. Ku pandangi lekat kerutan-kerutan di wajahnya. Seolah-olah berharap, anak di pangkuannya menjadi anak yang memberikan kebahagian kepada dirinya dan semua penduduk dunia, cinta padanya. Sungai di mataku meluap, menumpahkan airnya melalui ujung mataku, mengalir deras membentuk aliran sungai kecil di pipiku.
Perlahan-lahan ku kumpulkan kekuatan di kaki ku, agar dapat melangkah pergi. Aku berdiri, ku pandangi sekali lagi wajah itu dengan membawa semua harapannya bersamaku. Dalam hatiku, aku berjanji untuk mewujudkan semua harapan yang melintas dan menyapa pikiranku. Kakiku perlahan-lahan berlalu meninggalkan lukisan itu, melangkah dan terus melangkah. Aku pandangi setiap jengkal lukisan-lukisan di sepanjang jalan yang ku lalui.
Lukisan-lukisan itu memberikan semangat baru untukku untuk terus bersemangat menjalani kehidupanku. Ruang hatiku yang gelap perlahan-lahan mulai terang. Bersama itu mengalir ketenangan yang selama ini ku nantikan. Bebanku lenyap seketika, terbang entah ke mana. Ruang itu memberikan kedamaian ke dalam hatiku. Aku ingin berlama-lama di ruangan ini.
“Hei, jangan melamun terus!” tegur Sigit. Aku tersentak. Aku hanya diam menaggapi teguran sahabatku ini. Imajinasiku langsung pergi meninggalkan diriku. Namun, hatiku damai. Tampak dari kejauhan sebuah plang nama dengan warna hijau bertuliskan ‘Pondok Pesantren Nahjatul Ula’. Semakin dekat, tulisan itu semakin jelas terlihat olehku.
Ketika sampai di dekat plang nama tersebut, sepeda motorku ku belokkan ke arah kiri memasuki ruas jalan yang lebarnya sekitar 1,5 meter. Ku pacu kendaraan dengan perlahan. Jarak yang harus ku tempuh masih sekitar 2 km lagi. Dinginnya malam sudah tidak ku rasakan lagi. Di kiri dan kanan jalan tampak beberapa rumah yang jaraknya cukup jauh antara rumah yang satu dengan yang lainnya.
Sepinya jalan tampak jelas di sepanjang jalan kecil ini. Tak ada seorang pun, cahaya lampu pun jarang. Meskipun ada, cahayanya redup. Angin menyentuh kulitku, membuat bulu kudukku berdiri. Di kejauhan terdengar sayup-sayup suara zikir. Zikir itu menembus jiwaku, jiwa pendosa. Aku semakin memperlambat laju kendaraan beroda dua ini. Semakin lama suara itu semakin keras terdengar.
Aku menghentikan kendaraanku, dan mematikan mesinnya di antara kendaraan-kendaraan yang lain. Puluhan kendaraan berjejer rapi di halaman pondok itu. Aku dan Sigit bergegas menuju sebuah ruangan yang telah dipadati oleh santri-santri yang lain. Aku duduk berdampingan dengan Sigit, namun kami tidak saling bertegur sapa. Kami hanyut dalam keheningan masing-masing. Menenggelamkan diri kami dalam lautan zikir yang membelai lembut hati kami.
Sungai-sungai di mataku meluap, membayangkan perbuatan-perbuatan dosa yang telah ku perbuat. Ku resapi semua penyesalanku, ku resapi semua tindakan-tindakanku yang merugikan orang lain. Aku tak tahu, apakah orang-orang yang pernah ku zalimi mau memaafkan diriku yang hina ini. Aku berharap mereka mau memaafkan diriku. Aku menyesal.
Bayangan ibuku kembali terlintas dalam benakku. Selama ini, belum ada satupun yang ku lakukan dapat membuatnya tersenyum bahagia. Bahkan, terkadang hanya rasa sakit yang ku berikan kepadanya. Walaupun tidak ada niat di dalam hatiku untuk menyakitinya. Aku ingin berbakti kepadanya. Namun, aku tak tahu apa yang bisa aku lakukan. Setiap hal yang ku lakukan, hanya membuatnya semakin sakit.
Aku resapi lebih dalam penyesalanku, penyesalan yang tak bisa memberikan seberkas senyum, walau hanya sedetik. Sungai-sungai di mataku meluap membentuk dua buah aliran kecil yang dipisahkan tebing di wajahku. Alirannya makin lama makin deras, hingga suara isak tangis mengiringi lantunan zikirku di malam yang dingin.

Senin, 02 Maret 2009

Sentuhan Cahaya Pelangi

Pagi hujan lebat . Mentari malu-malu menatap pagi. Tetes hujan berkejar-kejaran membasahi bumi yang sudah usang. Manusia berselimut tebal, malas untuk bangun. Aku pun mengalami peristiwa yang sama. Aku bermalas-malasan di kamarku. Di depan Laptop baruku, aku bercerita. Nidji menemaniku lewat tembangnya Jangan pernah lupakan’. Aku mengalirkan angan-angan lewat tarian jemariku. Angan-anganku melayang pada pertemuanku dengan gadis berkerudung coklat, berbaju gamis panjang warna kuning. Wajah yang berseri dihiasi senyum. Kulit putih mulus kemerahan. Perangai sopan penuh canda. Perawakannya sangat ideal. Gadis yang telah lama tidak ku lihat. Sudah setahun lebih, aku tidak melihat senyumnya.

Pertemuan indah itu terjadi, saat aku masih aktif kuliah. Pagi itu, aku ingin berangkat ke kampus secepat mungkin. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Biasanya aku hanya malas-malasan saja. Aku berangkat ke kampus, setengah jam sebelum kuliah dimulai. Aku melangkah dengan iringan kabut putih. Langkah kakiku begitu ringan. Bersemangat. “Sepertinya, aku gembira sekali hari ini” gumamku lirih. Aku terus melangkah. Aku berjalan semakin cepat tak lama kemudian aku sampai di depan kampus. Dari arah yang berlawanan, sesosok gadis berkerudung melangkah malu-malu menuju ke arah yang sama denganku. Kampus.

Aku melangkah dengan semangat yang sama. Di depan pintu gerbang, tanpa sengaja kami saling menatap. Ia tersenyum. Senyum yang paling manis. Senyum yang mengisi semangatku mencapai puncaknya. Senyum gembira. Aku pun tersenyum. Ia hanya tersenyum tanpa terucap kata. Aku membalas senyumnya dengan senyum yang paling manis. Senyum ini belum pernah ku berikan pada siapa pun. Adrenalinku seolah terguncang dan semakin memuncak. Aku semakin bingung dengan keadaanku pagi ini. Aku hanya terdiam menatap kepergiannya.

Aku melangkah ke dalam kelas. Menjalani rutinitas kampus yang melelahkan. Tapi hari ini, kuliah terasa menyenangkan buatku, meskipun aku gelisah. Aku ingin kuliah ini cepat selesai. Aku ingin melihat gadis berkerudung tadi. Aku ingin berkenalan dengannya. Aku ingin menatapnya.

“teeeeet……..teeeeet…..teeeeet”.

“Horeee….” Pekik ku.

Seisi kelas melirik ke arahku. Dosenku pun melihatku penuh dengan tanda tanya. Agus menepuk pundakku, “Hei…ada apa denganmu?”. Aku hanya tersenyum padanya lalu kabur ke luar ruangan. Aku mencari gadis yang aku temui tadi pagi. Lama ku cari, tapi tak ku temui dirinya. Lelah mencari, aku pulang dengan langkah gontai. Perutku sudah bernyanyi, “Krooooook….krooooook…krooooook”. Aku pun mempercepat langkahku menuju ke rumahku. Siang ini, panasnya terasa lebih panas. Padahal suhunya sama dengan hari yang lalu. Aku gundah. Aku sedih. Aku terus melangkah dan terus melangkah.

Setelah sampai di rumah, aku merebahkan diriku di atas kasur kesayanganku. “Sudah pulang, Nak?” tegur ibuku. Aku tidak menjawab. Mukaku terasa dilipat-lipat oleh kerutan-kerutan kelelahan.

“kelihatannya kau sedang murung. Ada apa, Sakit ya?” tanya Ibuku beruntun mencari tahu.

“Tidak bu, hanya kelelahan saja,” kataku lirih.

“Oh….capek ya. Ya sudah, sekarang istirahat dulu terus makan. Ibu masak makanan kesukaanmu,” kata Ibu terus pergi dari kamarku.

Pikiranku melayang pada senyum gadis berkerudung itu. Tanpa ku sadari aku terlelap dalam lamunan panjang gadis berkerudung.

Aku tersentak. Kaget. Alarm jam beker tua pemberian kakekku berbunyi, “Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing…Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing…Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiing.” Jam beker tua itu menunjukkan pukul 16.00 Wita.

Aku bangun terus menggeloyor pergi ke kamar mandi. Ku ambil segayung air di dalam bak, lalu ku siram kepalaku. Kesegaran mengalir dari kepalaku bersama dengan aliran air itu. Melepas penatnya tubuh. Melepas penatnya pikiran. Melepas lamunan panjangku. Tapi aku tak kuasa melepas lamunan itu. Lamunan itu terus membayangiku.

Tanpa ku sadari hari ini, pikiranku dipenuhi oleh rupa gadis pujaanku. Aku bertanya dalam hatiku, “Siapa gadis ini? Siapa namanya? Di mana rumahnya?.........”. pertanyaan tadi saling menyusul seperti balapan motor GP. Aku tak bisa tidur. Hatiku gelisah. Semakin gelisah. Malam ini, aku terjaga sampai pagi ditemani bayang-bayang gadis itu. Setelah sholat subuh, aku mandi. Aku buru-buru sarapan. Makan pun dengan tergesa-gesa. Semua isi rumah menatapku heran. Adikku iseng bertanya, “Kakak kesurupan di mana?. “Husss….ndak boleh ngomong begitu,” kata Ibuku.

Aku tidak peduli omongan mereka. Aku tetap melahap makanan yang ada di depan ku. Setelah makan aku berpamitan kepada mereka. Mereka menatap kepergianku dengan penuh tanda tanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi, padahal aku tidak tidur semalaman. Biasanya kalau sudah bergadang. Aku pasti bangun kesiangan. Orang tuaku pasti teriak-teriak membangunkanku.

Hari ini, ada semangat yang menyelimuti hatiku. Aku ingin segera ke kampus. aku hanya ingin melihat senyumnya. Senyum yang membuatku tak bisa tidur. Senyum yang membuatku bermain dengan angan-anganku sampai pagi. Senyum yang membuatku gelisah. Perasaan tidak karuan ini, terus mengganggu pikiranku.

Aku melangkah menuju ke kampus dengan tergesa-gesa. Meskipun keringat bercucuran dari tubuhku, namun kelelahan tak ku rasakan. Tanpa ku sadari, inilah hari tercepat aku ke kampus. Jam tanganku menunjukkan pukul 06.00 pagi. Lima belas menit kemudian aku sudah berada di gerbang kampus. aku berharap hari ini aku melihatnya lagi. Hari ini aku berharap melihat senyumnya. Hari ini aku berharap ia menyapaku.

Aku duduk di pos satpam. Menunggu gadis berkerudung. Aku datang paling pertama. Tidak ada seorang pun di kampus, bahkan pak satpam pun belum datang. aku termenung. Waktu terasa berjalan lambat. Tak lama kemudian, mahasiswa berdatangan. Dadaku berdegup. Semakin banyak mahasiswa yang datang, dadaku berdegup lebih kencang.

Pukul 07.05 pagi, di kejauhan aku melihat gadis itu. Gadis yang membuatku tak bisa tidur. Gadis yang memenuhi lamunanku. Dadaku semakin berdegup. Semakin mendekat, makin kencang degupan dadaku.

Kira-kira tinggal 4 meter lagi, ia berada di depanku. Ia melihat ke arahku. Aku menatapnya. Ia terus melangkah. Tepat dihadapanku, ia melempar senyum manisnya ke arahku. Ku tangkap lemparan senyumnya dengan hatiku. Ia menundukkan wajahnya dan pergi menuju kelasnya. Aku terpaku. Mematung. Tak berkedip. Tersisa senyum di ujung bibirku. Senyum balasanku untuknya. Hatiku semakin gelisah, bercampur bahagia. Aku senang bisa melihatnya pagi ini. Aku senang mendapat senyumnya. Walau hanya sekali.

Teman-temanku lewat di depanku. “Hei, melamun kok pagi-pagi,” kata Ani. “Pasti melamun jorok ya…” seru Fendy mengejekku. “Ayo, kita ke kelas” ajak mereka. Aku pun ikut dengan mereka. Tanpa menjawab satu pun pertanyaan mereka.

Bayanganku hanya terisi gadis itu. Suara dosenku tidak sampai ke telingaku. Aku hanya melihat dosenku sedang berbisik di depan kami semua. Konsentrasiku hanya pada gadis itu. Aku terbuai. Terkadang senyum-senyum sendiri. Terkadang gelisah penuh tanya. Tiba-tiba telingaku dipekakkan oleh suara dosenku. Suara berbisik tadi, kini jadi petir di telingaku. Siap menyambar dan membakarku dengan kemarahannya. “Hei..kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” kata dosenku. Aku tergagap. Tak bisa menjawab. Aku hanya diam. Senyumku hilang. Berganti perasaan malu. Wajahku merah. Teman-teman kelasku tertawa semua. Aku semakin malu. Ku coba hilangkan sejenak lamunanku tentang gadis itu. Tetap tidak bisa. Ku paksakan diriku untuk mendengarkan ceramah dosenku. Aku bersyukur akhirnya suara dosenku dapat terdengar. Walau samara-samar. Aku mengikuti perkuliahan ditemani lamunanku tentang gadis itu.

Setelah perkuliahan selesai, aku langsung keluar menuju kelas gadis itu. Tapi tak ku temukan dia. Hatiku semakin galau. Aku pasrah. Aku beranjak pergi. Aku berjalan menuju kursi di depan mushola di kampusku. Aku duduk bersandar. Melepas kepenatan yang mengusik batinku. Aku pasrah. Lunglai. Lemas. Letih dengan semua pikiran baru yang mengusik hari-hariku.

Aku memejamkan mataku. Lamunan itu muncul silih berganti. Senyumnya. Cara berjalannya. Cara menundukkan wajah manisnya. Semua lamunan itu saling berkejaran dalam ruang imajinasiku. Ingin ku balut lamunan itu dengan jaring agar tidak pergi dari ingatanku. Aku senang dengan lamunan ini, tetapi aku juga sedih.

Aku terus bermain dengan imajinasiku. Aku melihatnya berlari-lari kecil. Matanya yang memberikan seberkas cahaya yang menyibak galaunya hatiku. Aku benar-benar terjebak dengan perasaan ini. Tidak ada yang tahu. Hanya aku sendiri.

Lamunanku pecah oleh sebuah suara lembut. “Assalamualaikum.” Suara itu lembut di telingaku. Perlahan aku tolehkan wajahku ke arah datangnya suara itu. Ketika ku tatap siapa pemilik suara itu. Aku semakin terkejut. Aku gagap. Aku membalas salam itu dalam keadaan bingung. Kaku. Gagap. Mematung. Serasa seluruh darahku berhenti berjalan. Dadaku berdegup sangat kencang.

Suara lembut itu. Suara yang lama ingin kudengar. Suara gadis berkerudung itu. Aku menatapnya tanpa berkedip. Ia menatapku lalu tersenyum dan berlalu dari hadapanku. Aku tetap terpaku. Tubuhku terasa berat tak bisa melangkah. Telingaku tak bisa mendengar. Hanya denging ucapannya yang terdengar. Aku manatap kepergiannya. Ingin sekali aku memanggilnya. Tapi lidahku tak mampu mengucap kata.

Walau bahagia bercampur sedih. Aku melalui peristiwa ini selama tiga bulan. Setiap hari aku selalu menunggunya di pintu gerbang kampus. Tak pernah terucap kata lagi, selain salam yang ia ucapkan di depan musholla. Aku tak berani menyapanya. Setiap melihatnya dadaku berdegup kencang. Lidahku kelu. Aku hanya bisa tersenyum. Senyum yang paling manis. Ku persembahkan hanya untuknya. Ia hanya tersenyum. Lalu menunduk. Melangkah pergi meninggalkan diriku. Imajinasiku terus bermain menari gembira di kepala ku.

“Ayo bangun! Cepat mandi, katanya mau ke kampus.” perintah Ibuku. Angan-angan ku berhenti. Hujan sudah reda. Hari ini aku harus ke kampus. Sudah lama aku tidak ke kampus. Aku harus menemui dosenku. Aku ada janji konsultasi skripsi dengan dosen.

Aku beranjak dari tempat tidurku, lalu mengambil handuk. Aku menuju ke kamar mandi. Ku buka pintunya, lalu ku tutup kembali. Aku mengambil gayung. Mengambil air lalu ku tuangkan perlahan dari atas kepala ku. Airnya sangat dingin. Bulu kuduk ku berdiri. Ubun-ubunku mengeluarkan asap. Aku menuangkan air itu kembali. Air itu melepas ketegangan dan kepenatan yang ku alami. Penat dari lamunan-lamunanku terasa berkurang. Aku mempercepat mandiku. Adikku sudah berteriak dari luar kamar mandi. “Kak, mandinya cepat dong,” kata adikku ketus. Tak lama kemudian aku keluar. Adikku langsung mencubitku. Aku mengaduh dan berlari menuju ke kamarku. Ku tinggalkan adikku yang jengkel. Aku mengenakan bajuku yang paling bagus. Aku berpamitan kepada orang tuaku.

“Bu, saya ke kampus dulu.”

“Hati-hati, tidak usah ngebut!” nasehat ibuku.

Setelah mencium tangannya. Aku mengambil kendaraan roda dua milikku. Menghidupkan mesinnya. “Bismillahirrahmanirrahim,” ucapku lirih. Aku menuju ke kampus. hawa pagi ini dingin. Tulang-tulangku ngilu semua. Ku pacu sepeda motorku. Aku ingin segera tiba di kampus. aku tak ingin membuat dosenku menunggu.

Tak lama kemudian, aku sampai di kampus. Suasana kampus sepi. Maklum hari hujan. Mahasiswa banyak yang malas kuliah, kalau hujan begini. Aku memarkir sepeda motorku. Aku berjalan perlahan menuju ruang program studi. Ku buka pintunya. Dosenku sudah menungguku. “Maaf Pak, saya terlambat,” kataku menyesal. “Tidak apa-apa,” kata dosenku bijaksana. Aku lalu bertanya kepada beliau tentang permasalahan tugas akhirku. Setelah beliau memberikan pengarahan. Aku minta izin pulang. Aku pun keluar dari ruangan itu. Dan beranjak menuju tempat parkir. Ku hidupkan mesin motorku.

Di depan pintu gerbang, aku terperanjat. Sosok gadis yang mengisi lamunanku pagi ini, hadir di hadapanku. Gadis yang sudah lama tidak pernah ku temui. Gadis yang selalu ku rindukan. Gadis yang tidak pernah berbicara padaku. Hanya salam saja yang pernah ku dengar darinya. Gadis yang memberikan senyumnya padaku selama tiga bulan. Gadis yang membuatku selalu susah untuk tidur.

Ia hanya tersenyum. Seperti biasanya. Ia lalu menunduk dengan wajah malu kemerahan. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Ia tidak jalan kaki lagi. Saat ini, ia menggunakan sepeda motor sama sepertiku. Perubahan ini membuatku semakin lemah. Patah semangat. Lunglai. Di dekatnya ku lihat sosok laki-laki. Ia terlihat mesra. Aku bertanya dalam hati, “Siapakah dia?”.

silahkan tempatkan kode iklan, banner atau teks disini